Petualangan Kapten Yonker dan Aru Palaka Di Minangkabau
Written By Unknown on Sabtu, 10 Desember 2011 | 10.33
Kapten Yonker dan Aru Palaka adalah orang-orang yang turut memperkuat pasukan Belanda. Pasukan yang mereka pimpin sewaktu di Minangkabau cukup membuat repot karena keberanian dan keahlian berperangnya. Meskipun Kapten Yonker dan Aru Palaka ini berperang untuk pasukan Belanda namun kehebatan mereka dalam berperang patut mendapat catatan tersendiri. Akhir hidup dari Kapten Yonker ini sebagai pendukung Belanda yang setia dan banyak jasanya cukup mengenaskan, dikhianati oleh bangsa Belanda yang dibela dengan nyawa. Sentot Alibasya masih lebih beruntung yang hanya di istirahatkan dengan mewah di Bengkulu.
Perang di Minangkabau
Jacob Gruys pada bulan April 1666 dengan 200 pasukan Belanda dan pasukan-pasukan pembantunya menyerang kota Pauh untuk memadamkan pemberontakan rakyat. Serangan itu berakhir tragis bagi Belanda, hanya 70 serdadu yang kembali hidup-hidup, Jacob Gruys sendiri juga tewas, begitu pula 2 kapten dan 5 letnan.
Kekalahan tragis Jacob Gruys ini membuat Belanda kehilangan muka dan orang-orang Minang mulai memandang rendah Belanda serta melanggar kesepakatan dagang yang telah dibuat. Keadaan ini harus segera diatasi, maka pada bulan Agustus 1666 diberangkatkan dari Batavia 300 serdadu Belanda, 130 serdadu Bugis dibawah Aru Palaka dan 100 serdadu Ambon dibawah Kapten Yonker dibawah pimpinan Abraham Verspreet dengan gelar Komandan dan Komisaris.
Kepada Verspreet ditegaskan bahwa dalam setiap formasi tempur, pasukan Bugis pimpinan Aru Palaka dan pasukan Ambon pimpinan Kapten Yonker harus selalu berada didepan pasukan Belanda supaya korban dari pihak Belanda bisa dikurangi.
Setelah konsilidasi di Padang, pasukan Belanda mendapat tambahan sekitar 500 orang dari kota Padang yang ternyata dalam peperangan nanti tidak banyak membantu tetapi cukup gesit dalam melakukan penjarahan setelah peperangan selesai.
Dalam peperangan pertama, korban dipihak Belanda adalah 10 orang tewas dan 20 luka-luka termasuk Aru Palaka dan Kapten Yonker yang terkena 3 buah tusukan tombak. Pasukan Aru Palaka dan Kapten Yonker ini sering kali terpisah dengan pasukan induk disetiap peperangan karena begitu sibuk membantai (biasanya dengan memenggal kepala) dan sulit diperintah untuk tetap dalam barisan.
Kota Ulakan dapat diduduki pada tanggal 28 September dan Aru Palaka mendapat gelar Raja Ulakan. Pada tanggal 30 September, pasukan Belanda sampai di Pariaman, disini Kapten Yonker diangkat sebagai Panglima (rakyat setempat menamakannya Raja Ambon) dan harus diberikan upeti. Tanggal 3 November, ekspedisi itu kembali ke Batavia dengan kemenangan. Aru Palaka dan Kapten Yonker mendapat banyak hadiah dalam bentuk pakaian dan emas serta masing-masing mendapat 20 ringgit untuk setiap tawanan yang dibawa dari Minangkabau.
Kapten Yonker dan Pasukan Ambon
Kapten Yonker dengan pasukan Ambonnya adalah kesatuan yang terdiri dari orang-orang Ambon, tetapi jangan membayangkan sebuah pasukan yang berseragam dan berbaris menyandang senapan. Mereka adalah sebuah kelompok yang tanpa seragam dan tanpa kemampuan baris-berbaris ataupun disiplin seperti pasukan profesional modern. Bersenjata senapan saja mereka tidak, satu-satunya senjata yang mereka pakai adalah kelewang dan beberapa memakai perisai. Pasukan ini hanya tunduk kepada perintah satu orang saja yaitu Kapten Yonker atau dikenal juga sebagai Kapten Ambon.
Dalam keadaan normal, pasukan ini adalah orang-orang yang baik hati dan menaruh hormat pada orang lain, tetapi bila saat gelap mata lebih baik segera menjauh dari mereka. Saat bertempur mereka laksana harimau kelaparan, tidak takut mati, mata merah, berteriak-teriak dan tidak pandang bulu, siapapun pasti dipenggal.
Di Batavia, pasukan ini ditempatkan di Kampung Ambon, daerah Jatinegara sedangkan Kapten Yonker sebagai pemimpin pasukan Ambon ini memiliki rumah yang cukup bagus dan tanah yang luas di Marunda dekat Cilincing, didaerah Penjonkeran.
Entah darimana ia mendapatkan julukan Kapten Yonker, tidak pernah tercatat dalam sejarah. Kapten Yonker adalah orang Islam dari lahir. Ia lahir dipulau Manipa, Ambon dan meninggal di Batavia tahun 1689 saat Kapten Yonker berusia 50 tahun.
Kapten Yonker adalah anak emas Jenderal Speelman dan karirnya mulai mudar sesudah meninggalnya Speelman. Berkat jasanya yang besar pada Belanda, Kapten Yonker menerima rantai kalung emas sebagai medali seharga 300 ringgit. Gajinya pun cukup besar pada pada tanggal 1 Januari 1665 diangkat sebagai kepala orang-orang Ambon di Batavia.
Pengalaman perang Kapten Yonker cukup banyak, ia pernah dikirim oleh Belanda ke India dan Sailan, dimana tangan kirinya lumpuh karena tertembak. Kapten Yonker juga dikirim ke Sumatera Barat tahun 1666 dibawah pimpinan Verspreet dan Poolman. Kemudian dikirim lagi ke Makasar, Ternate, Banda dan Ambon serta Jawa Timur. Pasukan Ambonnya juga pernah menjadi pengawal pribadi Susuhunan Mataram. Kapten Yonker berserta pasukan Ambonnya lah yang berjasa menangkap Trunojoyo. Pada tahun 1681, Kapten Yonker dikirim ke Palembang dan Jambi segera disusul untuk melawan Sultan Abdul Fatah dari Banten tahun 1682 - 1683.
Akhir Tragis Kapten Yonker
Menjelang tahun 1689, Kapten Yonker dituduh ingin menggulingkan kekuasaan Belanda di Batavia dan terbunuh saat hendak ditangkap untuk diadili.
Menurut pengarang Belanda, Van der Chijs yang menulis sebuah buku khusus yang didedikasikannya pada Kapten Yonker, banyak perwira Belanda tidak menyukai tentara pribumi yang mendapat tempat istimewa dan penghargaan tinggi karena keberaniannya dimedan tempur. Isaac de Saint Martin adalah seorang perwira Belanda yang sangat dengki dan iri hati akan kehebatan Kapten Yonker ini, setelah Speelman meninggal maka tidak ada lagi orang Belanda yang membela Kapten Yonker.
Kapten Yonker beserta pasukannya mengamuk di Batavia pada bulan Agustus 1689 karena merasa dikhianati, dihina dan bercampur aduk perasaan kecewa terhadap perlakuan orang-orang Belanda. Kapten Yonker dituduh ingin membunuh semua orang-orang Belanda di Batavia karena mereka beragama Kristen. Ini adalah tuduhan yang paling berat di Batavia kala itu yang sekaligus berarti hukuman mati. Sebuah tuduhan yang tidak masuk akal karena kedudukan Belanda di Batavia saat itu telah cukup kokoh namun apapun dilakukan untuk sekedar legitimasi dalam menyingkirkan Kapten Yonker ini.
Kapten Yonker dan pasukannya bukan pertama kali mengamuk di Batavia, demikian seringnya ia mengamuk sehingga ketika melihat pasukan Belanda datang, Kapten Yonker mengira pasukan itu datang untuk menenangkan pasukan Ambonnya seperti biasa sebelumnya. Hanya kali ini, Kapten Yonker tidak tahu bahwa Penjongeran telah dikepung dari tiga jurusan oleh pasukan-pasukan Belanda termasuk kesatuan yang mendarat dari laut. Malah Kapten Yonker ini sempat bersendau gurau dengan pasukan Belanda yang datang itu sebelum tiba-tiba ditembak.
Setelah Kapten Yonker tewas, Pasukan Ambonnya yang berjumlah 130 orang, dibantai Belanda dan mayatnya dicincang. Mereka yang melarikan diri, terus dikejar oleh pasukan Belanda untuk dimusnahkan karena hadiah yang besar yang ditawarkan pemerintah Belanda bagi siapa saja yang dapat membunuh bekas pengikut Kapten Yonker.
Kepala Kapten Yonker ini kemudian dipamerkan dipinggir jalan didaerah kota (Nieupoort). Semua keluarga terdekatnya dan anak-anak Kapten Yonker (kecuali anaknya yang terkecil dibuang ke Sailan dan Afrika. Juru tulis dan pembantu Kapten Yonkerpun termasuk orang-orang yang ikut dibuang oleh Belanda. Semua harta benda, tanah dan rumahnya disita dan dibagikan pada pasukan Belanda yang berjasa membunuhnya.
Reference:
Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, 1981, Cetakan Pertama, Penerbit Sinar Harapan.
Kapitein Jonker, J.A. Van der Chijs, Den Haag, 1885.
Kapten Yonker, Ritter, Majalah Biang Lala; Indisch Leeskabinet, No. 2 tahun 1853.
sumber
Labels:
Kisah Nyata,
Pacarita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Komentar:
Posting Komentar