~S. Gudder~
Coba anda tanyakan pada seorang anak, apa yang paling ia takutkan dalam dunia mungilnya? Boleh jadi jawabannya bukanlah hantu atau monster, melainkan sebuah mata pelajaran yang sebenarnya begitu penting bagi kelangsungan hidupnya, yaitu matematika.
Salah Satu workshop Gasing yang di prkarsai Oleh Yohanes Surya |
Terdengar berlebihan? Tentu tidak jika anda melihat data hasil survey yang dilakukan oleh Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2007. Organisasi internasional yang mengukur kemampuan matematika dan sains di berbagai negara ini menerapkan patokan skor 625 untuk level tingkat lanjut, 550 untuk level tinggi, 475 untuk level menengah, dan 400 untuk level rendah. Lalu berapa skor yang diperoleh Indonesia? 397!. Negara kita bahkan ada di posisi beberapa poin dibawah level terendah! Tak heran kita menduduki peringkat ke 35 dari 47 negara yang terdata dalam survei.
Apakah kita kurang belajar? Ironisnya, jam pelajaran matematika anak-anak di Indonesia justru termasuk dalam jajaran tertinggi didunia! Dalam satu tahun, siswa kelas 8 di Indonesia rata-rata menghabiskan 169 jam untuk belajar matematika disekolah. Itupun belum termasuk segala les dan bimbingan belajar yang di ikuti kebanyakan anak-anak kaum metropolitan. Bandingkan dengan Singapura yang hanya 112 jam , tetapi mampu menggapai peringkat 3 besar dunia !
Kini pertanyaannya adalah mengapa? Jika jam belajar disekolah tidak berbanding lurus dengan prestasi siswa, apa yang salah? Mengapa matematika tetap menjadi monster yang menakutkan bagi anak-anak Indonesia?
Antara Matematika dan Impian Indonesia
Berawal dari impian untuk melahirkan 30.000 ilmuwan di Indonesia pada tahun 2030, Prof. Yohanes Surya,P.hd mengembangkan strategi untuk mengubah matematika menjadi ilmu yang lebih “manusiawi”. Maklum, sebagai The Queen of Science, matematika merupakan keahlian dasar yang mutlak harus dikuasai bila ingin menaklukkan dunia sains. Akhirnya, lahirlah metode matematika gasing yang membuat anak-anak memahami matematika dengan cara yang gampang, asyik dan menyenangkan.
Dalam waktu 2 tahun, propaganda matematika gasing mentargetkan minimal 10 % dari jumlah jiwa seluruh anak Indonesia dan diharapkan dapat menghasilkan efek bola salju yang menggulirkan revolusi matematika di Indonesia. Bahkan goalnya adalah membuat kemampuan matematika anak-anak Indonesia menduduki peringkat 5 besar dunia!. Terdengar muluk-muluk? Tentu tidak karena strategi multiplier effect yang diterapkan membuat penyebarannya semakin mudah. Dengan mendidik para trainer yang akan melatih calon-calon trainer lainnya, angka 4 juta anak tidaklah mustahil.
Bersama dengan timnya, Profesor yang terkenal rendah hati ini mulai mempelopori tren matematika yang menyulut pergerakan skala besar. Lewat program kabupaten cinta matematika di Papua, beliau menantang para bupati untuk mengirimkan anak-anak terbodoh, dan hasilnya anak-anak itu menjadi pemenang olimpiade matematika. Berikutnya program Gerakan Ibu Pandai Matematika (Gipika) digulirkan. Propaganda ini tak hanya disambut meriah oleh Indonesia tetapi juga mengundang rasa penasaran dunia internasional. Bahkan negara-negara Afrika seperti Nigeria dan Uganda akan mengirimkan perwakilannya untuk belajar matematika dari Indonesia.
Bersahabat Dengan Matematika
Yang suka matematik tepuk tangan
Yang suka matematik tepuk tangan
Matematika gampang
Matematika asyik
Matematika itu menyenangkan
Suara gegap gempita, nyanyian riang dan tepuk tangan yang antusias bergema nyaring di sebuah ruangan lantai dua Gedung Heartline Center. Sungguh diluar dugaan, kehebohan ini tidaklah berasal dari sebuah konser pertunjukan, tetapi dari seminar pelatihan matematika.
Bila anda menghadiri pelatihan ini, dipastikan image matematika yang sulit akan runtuh seketika. Dengan penjabaran kreatifnya, sang profesor berhasil membuat para peserta tercengang. Matematika ternyata sangatlah mudah! Bahkan materi yang sulit seperti pecahan dan bangun ruang dapat dijelaskan dengan bahasa yang sangat sederhana. Dan ajaibnya, tanpa perlu menghapal rumus dan satu lembar kertas burampun, soal-soal dapat terjawab dalam waktu sekejap. Tak heran metode revolusioner ini mengundang berbagai decak kagum.
“ Coba ya dari dulu diajari yang seperti ini…” , ujar seorang bapak sambil menggeleng keheranan. “
“ Yuk, balik lagi ke SD! Matematika kita pasti juara satu !”, sambut yang lain.
Mitos Monster Matematika
Dalam kehidupan sehari-hari, adakalanya kita mempercayai hal-hal yang belum tentu teruji kebenarannya. Pendapat umum yang belum tentu benar tersebut terlanjur tertanam dan akhirnya diwariskan pada generasi berikutnya. Dari sinilah sebuah mitos berawal. Mitos ini juga berlaku dalam hal cara pandang terhadap matematika. Bila pengalaman kita cenderung buruk, misalnya selalu bertemu dengan guru matematika yang galak, tak heran kita pun juga percaya dengan mitos matematika memang monster yang menakutkan. Namun, apa kata Matematika Gasing tentang monster matematika?
- Mitos 1 : Matematika memang susah..
Begitu anda berhadapan dengan metode gasing, pandangan ini dipastikan segera hancur berkeping-keping. Tak hanya menyediakan jalan penyelesaian soal termudah, metode gasing juga mengajarkan para pendidik untuk menyajikan matematika dengan cara yang sangat unik untuk dipahami anak-anak. Misalnya menggunakan lagu anak-anak untuk menyanyikan perkalian, sehingga mereka tidak merasa dipaksa menghapal.
- Mitos 2 : Matematika hanya milik anak-anak “otak kiri”
Tidak semua anak belajar dengan cara yang sama. Jika anak-anak “otak kiri” lebih cepat dalam hitung-hitungan, anak dengan tipe otak kanan lebih mudah menyimpan informasi yang berbentuk gambar. Akibatnya ada anggapan bahwa, matematika hanya milik anak-anak “otak kiri”.
Padahal, semua angka-angka dalam matematika sebenarnya hanyalah perwakilan dari bentuk yang nyata. Dengan sistem konkret à abstrakà mencongak, sebelum masuk keperhitungan angka-angka, anak-anak akan melihat bentuk konkretnya. Misalnya, diberikan gambar satu kotak berisi lima permen. Bila kotaknya ada dua, isinya 10 permen. Setelah itu, anak baru menuliskan simbol 1 X 5 = 5 dan 2 X 5 = 10. Tentu saja dengan cara ini, anak-anak yang tipe belajarnya visualpun tidak akan kesulitan memahami matematika.
- Mitos 3 : Doktrin Menghapal Rumus
Pola belajar matematika yang konvensional seringkali memaksa anak untuk “menelan” mentah-mentah selusin rumus. Misalnya volume limas = 1/3 luas alas X tinggi. Jika ada yang bertanya, “Kenapa rumusnya bisa begitu?” Jawabannya seringkali cukup menjengkelkan, “Sudahlah, terima saja, memang sudah begitu dari sononya”
Bayangkan ada belasan bentuk bangun datar dan bangun ruang. Betapa anak akan tersiksa jika diwajibkan “menelan” semuanya. Alih-alih memaksa anak menghapal rumus, matematika gasing membuat anak menemukan sendiri rumusnya dan mengingatnya secara otomatis. Misalnya untuk kasus limas. Dengan menggunakan peraga balok dan limas segiempat yang memiliki luas alas dan tinggi yang sama, kita lakukan percobaan. Limas diisi air sampai penuh, lalu dituangkan ke dalam balok. Ternyata butuh 3 kali dilakukan supaya balok penuh dengan air. Anak akan secara otomatis mengingat bahwa volume limas adalah sepertiganya volume balok. Sangat sederhana, bukan? Gitu aja kok repot.
Kecanduan Matematika
Latihan…latihan…dan latihan.. memang menjadi syarat utama untuk menaklukkan dunia matematika. Matematika gasing yang menyajikan latihan dalam bentuk berbagai games yang menarik justru akan membuat anak semakin penasaran dan akhirnya “kecanduan” dengan matematika. Matematika tak lagi membosankan. Matematika berubah menjadi begitu seru dan menyenangkan. Itulah yang terjadi dalam suasana pelatihan matematika gasing. Ketika Profesor Yohanes Surya menuliskan sederet soal, para peserta berlomba-lomba adu cepat menjawabnya. Mereka begitu antusias. Bahkan, mereka tak segan-segan meminta soal-soal yang lebih menantang.
“Ibuku Pandai Matematika…”
Pada hari terakhir pelatihan, seorang Ibu bercerita bahwa anaknya sangat membenci matematika. Setelah mengikuti pelatihan, sang Ibu segera mengajarkan matematika gasing pada anaknya. Takjub dengan kemudahan matematika, sang anak dengan bersemangat mengusulkan agar ibunya membuka bimbel untuk mengajar teman-temannya yang lain. Wah..wah… ide bisnis baru… Siapa yang tidak bangga punya mama yang jago matematika ?
Kaum bapak juga tak mau kalah. Sambil berseloroh, seorang Bapak yang menjadi peserta pelatihan berkata, “ Gipika itu juga bisa berarti gerakan papi pandai matematika”. Tawa para hadirin pun mengiyakan gurauan itu.
Jangan remehkan peran seorang ibu, itulah yang dipercayai Profesor Yohanes Surya. Indira Gandhi , salah seorang tokoh wanita ternama di dunia pernah mengatakan bahwa, kaum wanita adalah rumah dan rumah adalah basis masyarakat, jika kita dapat membangun rumah dengan baik maka kita dapat membangun negara yang baik. Karena itu, untuk membangun sebuah bangsa, didiklah kaum wanitanya. Dengan adanya Gerakan Ibu Pandai Matematika, maka diharapkan lahir anak-anak cerdas , cikal bakal generasi Indonesia yang kelak akan punya kompetensi untuk mengubah nasib bangsa.
Panggilan Untuk Mengubah Peradaban
Anda mungkin berpikir hanya orang-orang hebat tertentu yang dapat mengubah masa depan sebuah bangsa. Atau barangkali anda berpendapat visi melahirkan jutaan manusia cerdas di Indonesia letaknya jauh diatas awan-awan. Salah besar ! Sama seperti pepatah Tionghoa yang mengajarkan “perjalanan ribuan mil selalu dimulai dari langkah pertama”, demikianlah sebuah impian besar sebenarnya dapat diuraikan menjadi langkah-langkah kecil.
Siapapun anda, ada sebuah tanggung jawab untuk mewariskan kehidupan yang lebih baik pada generasi yang akan datang. Bila anda seorang pendidik, anda dapat menginspirasi anak didik anda dengan pembelajaran yang kreatif. Bahkan walaupun anda hanya seorang ibu rumah tangga biasa, dengan mengajarkan putra-putri anda mencintai matematika, anda telah ambil bagian dalam misi mulia mencerdaskan kehidupan bangsa.
John Louis von Neumann, salah satu ilmuwan pioneer mekanika kuantum pernah berkata, “Jika orang-orang tak dapat mempercayai bahwa matematika sebenarnya sangatlah sederhana, itu karena mereka tak menyadari betapa rumitnya kehidupan ini “. Artinya, matematika tidak pernah dimaksudkan untuk menambah kesulitan hidup kita yang memang sudah ruwet. Bila kita masih dapat menangani permasalahan hidup yang sulit dengan baik, bukankah jauh lebih mudah menghadapi soal matematika?
Akhir kata, Percayakah anda bahwa matematika sanggup mengubah sebuah peradaban? Inilah yang dialami anak-anak dari Papua. Selama bertahun-tahun, mereka dibesarkan di pegunungan dan berkeliaran hanya dengan mengenakan koteka. Bahkan ada bahasa daerah suku-suku tertentu yang tidak mengenal bilangan lebih dari empat! Namun, hanya dalam waktu kurang dari setahun anak-anak ini kini sedang disiapkan untuk menjadi juara dunia olimpiade matematika. Bukankahmatematika itu hebat? Kini giliran anda untuk membuktikannya
(by: Sylvia Lim)
Sumber : http://yohanessurya.com
0 Komentar:
Posting Komentar