Novel - Setahun Di Kota Kecil Karya Guna Sitompul
Written By Unknown on Kamis, 17 November 2011 | 10.45
Setahun Di Kota Kecil
Penulis: Guna Sitompul
Nana memilih bekerja di Kota Kecil, tak hanya untuk membuktikan kepada teman-temannya bahwa ia sanggup, tapi juga ingin tahu, apakah ia istimewa di hati ayahnya….
Nana tidak pernah mengkhawatikan posisinya di bank tempatnya bekerja. Hal yang paling merisaukannya, apabila dia tidak bisa lagi menulis. Di mana pun dia berada, asal dapat menulis, hal lainnya dapat ditoleransi. Nana dan rekan seangkatannya — semuanya dua puluh lima orang — karyawan baru di Bank Nasional. Setelah melewati masa pelatihan selama sebelas bulan, mereka ditempatkan di cabang-cabang bank di daerah.
Nana memilih Kota Kecil di Sumatra, karena merupakan tanah leluhurnya. Keluarga besarnya bermukim di sana. Sebenarnya, Nana bisa memilih kantor pusat, karena bosnya sangat membutuhkan tenaga analis seperti dirinya.
Selama pelatihan, dialah satu-satunya orang yang beruntung karena bisa magang di kantor pusat. Hal ini tak terlepas dari latar belakang pendidikannya, strategi manajemen. Kepala bagian pelatihan menilai Nana cenderung berpikir secara konseptual ketimbang secara teknis. Alasan inilah yang membuat Nana mendapat kesempatan magang di kantor pusat, di mana kebijakan-kebijakan disusun secara konseptual.
Tapi, toh, Nana memilih Kota Kecil dengan berbagai pertimbangan yang sebelumnya telah dibicarakannya dengan Pak Adi, mantan dosennya di universitas. Ia ingin tahu bagaimana rasanya bekerja berhadapan langsung dengan nasabah, selain tentu saja ingin lebih dekat dengan keluarga besarnya.
“Ibu saya pendiam, Ayah suka mengatur. Mungkin mereka pasangan yang cocok. Ah, entahlah. Tapi, pada dasarnya, saya kurang mengenal mereka. Dari kecil saya tinggal dengan Ompung, nenek dari pihak Ibu, sampai beliau meninggal lima tahun lalu. Ayah jarang berbicara dengan anak perempuannya. Ia lebih dekat dengan adik laki-laki saya. Sungguh, saya sangat ingin lebih mengenal keluarga besar saya.” Pak Adi mendengarkan cerita Nana sambil menekuk tangannya. Matanya yang teduh dan wajah ramahnya mendorong mahasiswa bercerita terbuka kepadanya.
“Akan ada mutasi di kantor, Pak. Saya bisa saja memilih kota metropolitan, tapi lowongan di Kota Kecil, tempat kelahiran saya, rasanya lebih menarik. Ada baiknya jika saya bertugas di sana. Saya punya waktu untuk mengenal keluarga lebih dekat,” Nana melanjutkan. Matanya menerawang, memandang ke sekeliling ruangan Pak Adi, sesuatu yang selalu dilakukannya bila dia ingin menangis. “Saya ingin tahu, apakah ada tempat yang istimewa bagi saya di dalam hati Ayah,” Nana akhirnya berkata pelan sembari membuang mukanya, agar tidak tampak seperti orang yang bersedih.
Pak Adi memberi jawaban setelah menunggu emosi Nana reda. “Ikutilah kata hatimu, Nak. Saya termasuk orang yang mengikuti kata hati. Walau terkadang yang saya lakukan itu tidak selalu yang terbaik, setidaknya dengan mengikuti kata hati, saya jujur pada diri sendiri.”
“Oh, ya. Ada hal lain lagi, Pak! Sebenarnya saya juga bertaruh dengan teman-teman di kantor pusat. Mereka bilang, saya tidak mampu bertahan di kantor cabang selama satu tahun. Mereka bilang, saya sangat kaku dan tidak ramah. Mereka bahkan mengatakan, seminggu pun saya tidak tahan, karena saya akan bertemu dengan banyak nasabah yang memiliki beragam karakter!” Nana cemberut, membuat Pak Adi geli melihatnya. Dibayangkannya wajah gadis itu ketika digoda teman-teman sekantornya. Pasti dia cemberut seperti saat ini!
“Saya benar-benar merasa dilecehkan, Pak. Kemampuan inteligensi saya dipertanyakan. Saya ingin membuktikan, bahwa saya mampu bekerja di kantor cabang dan menghadapi nasabah dengan berbagai sifat. Bukan hanya seminggu atau dua minggu, tapi satu tahun penuh! Saya yakin, saya pasti mampu!”
Kalau saja Nana dapat menyemburkan api seperti naga, pastilah Pak Adi sudah terbakar. Yang jelas, mantan dosennya itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa lucu, karena tampaknya Nana tidaklah membutuhkan jawaban lagi darinya. Gadis itu sudah mengambil keputusannya sendiri!
Akhirnya, Nana bertugas ke Kota Kecil. Ia sempat menyesali keputusannya, karena merasa akan masuk ke dalam mulut harimau yang siap melumat dirinya Tapi, Eve, salah seorang mentornya yang selalu berusaha memahami dirinya yang kaku, sudah membekalinya banyak hal. Bahkan, Eve meminta Bebe — seorang teman seangkatannya ketika diterima bekerja di bank, yang kebetulan bertugas di Kota Kecil— untuk membantu Nana.
JULI
Nana dijemput Aji, adiknya yang paling kecil, di terminal. Mereka lima bersaudara. Nana anak ketiga. Dua kakak perempuannya sudah menikah dan dua adik lelakinya sudah menyelesaikan kuliah tanpa mempunyai pekerjaan tetap.
Setibanya di rumah orang tuanya, Nana memeluk Mama yang kelihatan lebih tua dari lima tahun lalu. Rambutnya hampir berwarna putih semua. Ayahnya tidak kelihatan, masih di kebun jeruk. Ah, tak apa, pikir Nana. Ayahnya selalu bekerja keras, sehingga tidak ada sesuatu apa pun yang dapat mengganggu rutinitasnya. Sementara Hara dan Ijo, kedua orang anak Yos, kakaknya yang kedua, memandangnya heran.
“Ayo, beri salam pada Tante,” Yos menyuruh Hara yang berusia tujuh tahun menyalami Nana. Sedangkan adiknya, Ijo, yang usianya kata Yos baru sembilan bulan, belum dapat berbicara. Ia hanya tersenyum, menatap Nana.
Selesai melepas rindu, Nana baru sempat memperhatikan sekelilingnya. Rumahnya sudah tua dan mulai digerogoti ngengat. Nana jarang berada di rumahnya sendiri. Ia tinggal bersama Ompung. Saat liburan saja dia baru pulang ke rumahnya.
Malam harinya, Nana bertemu dengan ayahnya yang hanya memandangnya sekilas sambil berucap, “Kau sudah datang rupanya.” Nada suaranya datar. Kehadiran Nana seakan tak ada artinya sama sekali. Hati Nana terluka. Tadinya dia berpikir, ayahnya akan banyak bertanya kepadanya. Paling tidak, mengajak Nana berbasa-basi. Tapi, sampai Nana siap tidur, ayahnya hanya bertanya, apakah ia sudah mulai bekerja besok. Ya, cuma itu percakapan di awal perjumpaan mereka. Tidak ada satu pun yang istimewa.
Keesokan paginya, Nana sudah berada di bank di Kota Kecil. Letak kantornya tepat di sudut jalan. Pintu masuk menuju gedung berada di depan jalan, tanpa ada halaman pembatas. Agak ke samping kiri, barulah terdapat area parkir yang terbilang sempit. Bentuk gedungnya yang kotak persegi mirip jejeran tiga buah ruko (rumah toko) yang dijadikan satu. Kantor tersebut hanya terdiri dari satu lantai.
Nana berjalan menuju area parkir dan berdiri tepat di depan ATM yang terletak di ujung area itu. Di ujung sebelah kanan, terdapat pintu yang menghubungkan ke bagian dalam kantor barunya. Dalam hati Nana berpikir, mungkin itu pintu belakang. Dari situ Nana dapat memandang ke segenap penjuru arah. Di sebelah depan area parkir terdapat tiang bendera yang sudah usang, terbukti di sekeliling tiang itu penuh karat yang menandakan umurnya yang sudah uzur. Di pinggiran area parkir ditanami tumbuhan pagar.
***
Tidak ada hal yang istimewa dari gedung tersebut. Tentunya Nana tidak berharap mendapati gedung yang mirip dengan gedung kantor pusat di Jakarta. Matanya masih menyapu sekelilingnya, ketika pintu belakang tersebut terbuka. Dan, muncul sesosok tubuh pria yang diyakini Nana bernama Bebe.
Entah apa yang membuat Nana begitu yakin bahwa pria itu adalah kenalan Eve yang dianjurkan sebagai pembina dirinya di kota ini. Sosok pria berusia tiga puluhan itu mengenakan kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam. Dari depan ATM, Nana belum dapat melihat wajahnya dengan jelas. Tapi, Nana dapat melihatnya menjinjing dua boks yang diyakini Nana merupakan kotak uang untuk dimasukkan ke dalam ATM.
Nana memandang dengan seksama sosok pria yang sedang berjalan menuju ATM itu. Wajahnya yang sudah tampak lebih jelas, kosong tanpa ekspresi. Seakan-akan tidak ada kehidupan di sana, selain organ-organ tubuhnya saja yang bergerak. Tiba-tiba Nana merasa hatinya iba. Ah, mudah-mudahan ini hanya ilusinya saja! Pria itu memandang Nana sekilas, dan rupanya memutuskan keberadaan Nana tidaklah penting, sehingga dia lalu berbalik kembali ke dalam gedung.
Pukul 07.30 pagi, Nana masuk dari pintu depan. Dia duduk dan memandang ke sekeliling ruangan. Interiornya sederhana. Letak meja dan kursinya mengingatkan Nana pada ruang tunggu praktik dokter. Nana masih memandang ke sekeliling, ketika seseorang menyapanya.
“Ibu Andriana?”
Meskipun wajah pria itu ‘menyeramkan’, layaknya mayoritas penduduk di Kota Kecil ini, ia terlihat ramah dengan senyumnya yang tulus.
“Benar, Pak,” kata Nana sambil berdiri dan mengulurkan tangannya, lalu menyebutkan kembali nama lengkapnya, ”Andriana.”
“Namaku Poltak Panjaitan,” dia berbicara sambil menyambut uluran tangan Nana. Lalu Nana dipersilakan menghadap Pak Jey, seorang pria kurus berkacamata yang mengenalkan dirinya sebagai kepala cabang. Dan, di ruangan itu Nana melihat pria berekspresi dingin di ATM tadi.
Pak Jey lalu memperkenalkan Nana pada Pak Poltak yang bekerja di bagian umum. “Kalau perlu apa-apa, dapat menghubunginya,” katanya sambil mengalihkan pandangan kepada pria yang diyakini Nana sebagai Bebe. Dan, benar saja! “Ini atasan langsung Anda, Pak Bebe Setiadi. Anda akan mendapat pengarahannya selama bekerja di sini. Nah, selamat bekerja, Ibu Andriana.”
Nana sudah berdiri ketika Pak Jey tiba-tiba bertanya, “Oh, ya! Kenapa selama ini Anda tidak pernah ditempatkan di kantor cabang? Karyawan baru biasanya kan magang di kantor cabang dulu. Tapi, kenapa Anda tidak?”
“Mungkin karena saya tidak cantik, Pak,” Nana menjawab serius. Menurut hemat Nana, biasanya yang ditempatkan di kantor cabang tentulah mereka yang berparas menarik. Maklum, untuk menggaet perhatian nasabah. Ah, itu kan sudah lumrah!
Jawaban Nana tampaknya membuat ketiga orang pria yang berada di ruangan itu terkejut. Namun, Nana tidak peduli. Memang begitulah, pikirnya. Toh, sejak dulu pun Nana tahu, dirinya tak mampu bersaing dengan wanita mana pun secara ragawi. Ya, Nana merasa dirinya tidaklah cantik!
Hari pertama bekerja di Kota Kecil waktu terasa berjalan lambat. Sebagai atasannya langsung, Bebe memberi pengarahan secara teknis kepada Nana. Saat dekat-dekat berhadapan dengannya itulah, Nana dapat melihat wajah pria itu dengan jelas. Nyaris sempurna sebenarnya, jika saja tidak terlalu banyak tahi lalat di wajahnya!
Seumur hidup Nana belum pernah melihat makhluk yang memiliki tahi lalat di wajahnya sebanyak yang dimiliki Bebe. Wajahnya mengingatkan Nana pada keju Belanda yang dijual di pasar swalayan. Keju berwarna krem dengan sejumlah bintik hitam di sekelilingnya! Dan, ada satu hal lagi yang menarik perhatian Nana. Bebe memiliki sepasang alis mata yang bagus sekali! Mirip benar dengan sepasang alis mata detektif Conan di komik Jepang yang sering dibaca Nana!
Melihat Nana yang terpaku saja menatapnya, Bebe tampak tak senang. Tapi, rupanya gadis itu tidak menyadari kegelisahan Bebe. Padahal, kalau saja ada air, pasti ia sudah menyiramkannya ke kepala Nana. Akhirnya ia berdehem keras-keras sebagai upaya terakhirnya untuk mengembalikan Nana ke bumi. Dan, rupanya cukup berhasil karena akhirnya Nana mengalihkan pandangan matanya dengan malu.
Sorenya, Nana pulang dengan pikiran kacau. Ia merasa lelah, tidak menyangka pekerjaannya sangat jauh berbeda seperti yang dipikirkannya. Apalagi kebanyakan rekan di kantornya semua sudah menikah, kecuali… Bebe. Ya, mentor yang direkomendasikan Eve itu sudah hampir tiga tahun bertugas di sini. Diam-diam, entah kenapa, Nana merasa kasihan padanya. Sendirian tanpa keluarga di Kota Kecil ini, pastilah sangat berat bagi dirinya.
Mama menyambut Nana beserta si kecil Hara dan Ijo. Dipeluknya Mama dan diciuminya makhluk-makhluk kecil itu. “Tante capek?” tanya Hara dengan suaranya yang lucu. “Tante sudah makan?” tanyanya lagi. Dan, sebelum Nana menjawab, lagi-lagi Hara memburunya dengan pertanyaan yang membuat Nana takjub, “Tante sibuk, ya?”
Ha, baru kali ini ada yang menanyakan dia sibuk atau tidak! Nana membelai pipi Hara sambil mengangguk mengiyakan. Sementara itu, Ijo, adik Hara, nyengir saja, karena dia memang belum bisa bicara. Nana sendiri, setelah selesai makan, tidak ingin bercerita panjang lebar dengan Mama yang bertanya bagaimana pekerjaannya di kantor hari ini. Kalau Nana menjawab jujur, bahwa pekerjaannya amburadul, tentu Mama akan resah.
Ya, tetapi tidak ada salahnya bersikap jujur kepada Yos. Sejak dulu Nana memang lebih banyak berbicara kepadanya ketimbang saudara-saudaranya yang lain. Maka, dengan begitu saja ia menceritakan keberadaan Bebe, atasannya, yang dirasakannya sangat ‘menjaga jarak’. Bahkan, Nana juga kemudian mengatakan bahwa rasanya ia ingin lari saja dari kantor barunya itu!
“Aku banyak melakukan kesalahan. Tidak kusangka, sesukar itu menghadapi para nasabah! Berinteraksi dengan manusia ternyata jauh lebih sulit daripada menjadi editor buku-buku ilmiah!” ungkap Nana yang selama ini dikenal lebih berkutat dengan buku daripada dengan manusia, apalagi orang-orang yang sulit dipahaminya. Selain menulis artikel di majalah manajemen kantornya, ia juga suka menulis di berbagai majalah dan harian ibu kota.
“Bersabarlah, lama-lama juga kau mahir sendiri. Yang penting, konsentrasi penuh pada pekerjaan yang kita lakukan,” Yos berkomentar optimistis. Dan, semangatnya menular pada Nana. Kakaknya benar, ia hanya butuh waktu untuk memahami pekerjaannya.
***
Bebe mewanti-wanti Nana agar jangan percaya kepada orang yang baru dikenal. Tapi, Bebe sendiri sangat percaya kepada Nana, yang jelas-jelas baru ia kenal!
Ini hari terakhir di bulan Agustus. Seperti biasanya, Nana menulis di buku hariannya. Aku mulai dekat dengan keluargaku. Aku menyayangi keponakanku, Hara dan Ijo. Kedua makhluk mungil itu selalu membuatku bahagia. Tapi, aku tidak pernah menduga Kak Yos mengalami kesulitan membiayai rumah tangga dengan jumlah gaji yang diterimanya. Sebenarnya, ada dua keluarga di rumah ini. Keluarga Kak Yos dan keluarga kami: Papa, Mama, aku, dan adik-adik. Aku memang tidak tahu bahwa selama ini Kak Yos yang menanggung semuanya.
Kak Yos hanya karyawan biasa di kantor pemerintah, begitu pula suaminya. Apalagi kedua adikku, Aji dan Muda, masih menganggur. Papa dan Mama tidak pernah menceritakan, hujan badai telah menyebabkan panen cabai gagal. Untunglah Kak Yos bercerita jujur tentang kesulitannya. Paling tidak sekarang, aku bisa membantu mereka dengan penghasilan yang kudapat setiap bulan.
Ketika aku jatuh sakit (mungkin karena aku belum bisa menyesuaikan diri dengan pekerjaan baruku!), Bebe yang menggantikan pekerjaanku dan juga mengerjakan laporanku. Ah, aku mulai bersimpati pada Bebe. Dia rajin dan cekatan. Meskipun Bebe bawel, pekerjaan beres jika dikerjakannya. Aku harus berupaya lebih giat lagi! Sebenarnya tidak ada pekerjaan yang sulit. Asalkan aku mau berusaha, pasti bisa secanggih Bebe juga akhirnya!
Aku hanya merasa heran, mengapa Bebe menganggap bahwa orang baik hanya ada di dalam cerita-cerita sinetron? Apakah Bebe belum pernah bertemu dengan orang-orang yang berhati tulus? “Berhati-hatilah, Bu, dalam bekerja, karena pekerjaan kita berhubungan langsung dengan uang. Risikonya tinggi. Tidak ada salahnya bersikap waspada, bahkan dengan teman sekerja sekalipun!” Itu kalimat yang keluar dari mulutnya ketika aku sedang mendiskusikan masalah perolehan dana di bank tempat kami bekerja. Selain itu, Bebe juga menasihati agar aku lebih proaktif ‘merayu’ nasabah!
Ha, mungkin Bebe menyadari, sebagai anak buahnya, aku tidak ahli dalam memengaruhi orang lain! Jika nasabah tidak berminat menanamkan modalnya, biasanya aku hanya berdiam diri memakluminya. Usul Bebe agar aku lebih memperbanyak jaringan sehingga menambah jumlah nasabah, sebetulnya boleh juga! Harus diakui, Bebe memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam hal menggaet nasabah. Bebe memiliki keterampilan dan keramahan seorang ahli pemasaran. Hmm, tidak percuma dia ditempatkan sebagai kepala bagian pemasaran!
SEPTEMBER
Bebe membereskan file-file penting dan mengeluarkan beberapa buku petunjuk operasional bank. Bebe merasa Nana akan membutuhkan buku panduan tersebut, meskipun sebenarnya Bebe tidak peduli apakah Nana paham atau tidak tentang cara kerja operasional bank mereka. Bagaimanapun, Bebe yakin, dengan pendidikannya yang tinggi Nana tentu dapat memahami buku petunjuk itu selama ia kursus ke Medan.
Bebe memulai pembicaraan dengan menyatukan kedua telapak tangannya untuk menunjukkan bahwa pembicaraan mereka teramat penting. Di depannya, Nana diam mendengarkan. Apa pun itu, intinya pastilah… Nana yang harus menggantikan pekerjaan Bebe selama ia kursus ke Medan selama seminggu!
“Kalau saya tidak ada di kantor, Ibu yang menggantikan pekerjaan saya. Begitu pula sebaliknya,” Bebe berbicara panjang lebar tentang cara kerja operasional bank. Setelah itu, baru ia bertanya pada Nana, apakah gadis itu memahami ulasan yang diberikannya. Wajah Nana yang menyiratkan ketegangan membuat Bebe merasa kasihan.
Jawaban ‘tidak’ yang keluar dari mulut Nana membuat Bebe terperanjat. Apalagi setelah itu, Nana memberikannya sehelai surat!
“Apa ini?” Bebe bertanya heran. Dia menimang surat di tangannya.
“Itu surat pengakuan, Pak,” Nana menjawab jujur. Setelah itu, dia berbalik meninggalkan Bebe yang terpaku di tempat duduknya.
Sepeninggal Nana, Bebe langsung membuka surat itu. Rasa penasaran memenuhi dadanya. Belum pernah ada orang yang mengirimi dia surat dengan cara ini. Biasanya, Bebe menerima surat melalui pos. Dibacanya surat tersebut, sesekali dia tersenyum.
Pak Bebe yang baik,
Diam-diam sebenarnya saya telah berbuat sesuatu yang egois pada Anda, Pak! Dan, inilah hukumannya! Anda akan kursus ke Medan seminggu dan saya yang menggantikan pekerjaan Anda yang tidak saya pahami sepenuhnya!
Oh, ya! Anda ingin tahu keegoisan saya? Hari pertama bekerja di Kota Kecil ini, saya kaget sekali melihat pekerjaan yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Rasanya saya ingin pingsan, tapi tidak jadi saya lakukan karena… malu. Lalu, saya lihat Anda pontang-panting hampir 50 kali dari muka ke belakang, dari belakang ke muka (saya hitung, lho, jumlahnya!).
Saya sungguh tidak mengerti, apa saja yang Anda kerjakan. Lalu terlintas di pikiran saya, kalau Anda tidak ada, siapa yang menggantikan? Mestinya bukan… saya! Hingga Rabu kemarin, saya selalu berdoa untuk Anda, “Semoga Anda baik-baik saja.” Tapi jujur, saya lakukan bukan karena saya ingin Anda sehat secara tulus dan ikhlas, tapi demi kepentingan diri saya. Kalau Anda sehat, Anda akan bekerja setiap hari, sehingga saya tidak perlu menggantikan Anda!
Namun, akhirnya pekerjaan itu datang juga! Terus terang, saya hampir pingsan ketika mendengar Anda akan kursus selama seminggu. Saya sadar, jahat sekali saya telah berdoa dengan cara seperti itu! Namun, percayalah, Pak, mulai hari ini saya tidak akan melakukannya lagi. Saya benar-benar minta maaf dari relung hati saya yang terdalam….
NB: Ingatkah Anda ketika saya pernah bertanya, “Percayakah Anda pada saya, Pak?” Dan, Anda secepat kilat menjawab, bahwa Anda percaya pada saya. Terus terang, belum pernah saya mendengar ada orang lain secepat Anda dalam menjawab pertanyaan sesulit itu. Anda sungguh luar biasa, Pak! Walaupun, mungkin, hanya ada tiga kemungkinan:
Anda tidak mengerti maksud saya
Anda tidak peduli
Memang demikianlah adanya
Kok, Anda bisa percaya pada saya, Pak? Anda kan belum mengenal saya? Bahkan, Anda sendiri yang wanti-wanti kepada saya, agar bersikap waspada, terhadap seorang teman sekalipun!
Andriana
Nana menuliskan nama lengkapnya di akhir surat itu. Bebe melipatnya hati-hati. Nana memang aneh, tapi dia begitu jujur mengakuinya. Ah, Bebe geli membaca surat Nana yang lugu itu!
Seminggu tanpa Bebe akhirnya dilalui Nana dengan baik, meskipun hal itu menguras energinya. Setiap hari Nana selalu pulang malam dan datang paling pagi. Nana tidak sempat melihat matahari terbit ketika tiba di kantor dan tidak sempat pula melihat matahari terbenam pada saat pulang kantor.
Setiap kali pintu kantor terbuka, Nana mengangkat matanya dari komputer sambil berharap yang muncul adalah Bebe. Jam kerja sudah akan dimulai, tapi Bebe belum juga muncul. Padahal, Nana sudah membayangkan hari ini pekerjaannya akan berkurang. Ketika dia hampir putus asa, bayangan yang teramat dikenalinya itu datang!
Berkemeja putih dengan celana panjang warna hitam, dan tas hitam yang tersandang di bahunya seperti anak sekolahan, Bebe mengucapkan ‘selamat pagi’ kepada pak satpam. Wah, belum pernah Nana sebahagia itu melihat Bebe! Serta-merta dia menghampirinya. Nana ingin sekali menggandeng lengan Bebe seperti yang selalu dilakukannya pada Pridy, sahabatnya. Tapi, niat itu diurungkannya.
Nana tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Dia memandangi Bebe dari atas ke bawah, seakan mencari-cari sesuatu yang hilang. Ketika Nana merasa tidak ada satu pun yang berubah pada Bebe, maka Nana mengembangkan senyumnya. “Saya belum pernah sesenang ini melihat Bapak,” Nana mengungkapkan perasaannya dengan jujur. Bebe ibarat seorang malaikat yang turun dari langit untuk sesegera mungkin menyelesaikan masalah-masalahnya!
Sebenarnya, Bebe merasa ‘gerah’ dipandangi seperti itu. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang menanti-nantikan kedatangannya seperti ini! Diam-diam Bebe merasa tersanjung.
Nana masih tersenyum sambil menggenggam tangan Bebe. Ketika Bebe berusaha menarik lengannya. barulah Nana tersadar. Nana lalu melonggarkan pegangannya dan menjauh. Dia berusaha menguasai dirinya dengan lagi-lagi mengulas senyum di bibirnya. Dan, Bebe baru menyadari, ternyata gadis ini manis juga jika tersenyum!
“Saya sungguh senang melihat Anda kembali, Pak. Saya hanya ingin Anda tahu itu,” Nana berbicara tulus. Bebe dapat melihatnya dari pancaran mata Nana. Nana mengerjapkan matanya dan masih terus tersenyum. Bebe jarang sekali melihat Nana tersenyum selama itu. Paling lama kan Nana tersenyum hanya dalam hitungan detik. Itu pun sudah sangat terpaksa!
“Terima kasih, Bu,” Bebe cepat-cepat berjalan ke mejanya untuk menyembunyikan keharuannya. Meskipun mejanya mengalami ‘perubahan’, tidak terlalu parah. Bebe ingat, meja kerja Nana sendiri sangat berantakan. Beberapa peralatan kantor di meja Bebe agak berubah posisinya, tapi masih terlihat rapi. Bebe tersenyum membayangkan Nana berusaha sepenuh hati untuk merapikan mejanya. Sambil mengingat-ingat ucapan Nana tadi, Bebe mengembalikan posisi peralatannya ke tempat semula. Bagaimanapun, ini kan meja kerjanya sendiri!
Sore harinya mereka baru sempat bercerita panjang lebar. Nana mengenakan pakaian warna hitam kegemarannya. Nana kelihatan menarik dan dia pasti lebih cantik, kalau saja dia mau berusaha sedikit. Baju yang dikenakannya sangat cocok di tubuhnya. Hanya, Nana tidak suka berdandan seperti layaknya wanita, apalagi mereka yang memilih bekerja di bank!
Entah mengapa, kala itu Nana yang lebih banyak bercerita kepada Bebe. Meski agak bingung, Bebe berusaha berkonsentrasi mendengarkan. Dinikmatinya saja cara berbicara Nana yang simpang siur, walaupun kalimat yang keluar dari mulutnya penuh bahasa formal dan kedengaran ilmiah.
Bebe teringat, dulu ayahnya selalu mengatakan, bahwa ‘wanita pintar itu biasanya suka mengatur dan ingin menang sendiri’. Ya, Bebe menyadari, Nana berwawasan luas dan sangat pintar. Ah, apakah Nana juga seperti kebanyakan wanita yang dikatakan ayahnya? Terus-terang sajalah, hal itu yang menjadi penyebab mengapa Bebe selalu berusaha menjaga jarak dengan Nana! Selain itu, pengalamannya ketika bekerja di kantor pusat di Jakarta, ia dipimpin oleh seorang wanita pintar yang arogan. Hal ini menimbulkan trauma pada dirinya yang cenderung pendiam. Wanita pintar kerap melecehkan orang lain dan sulit diajak kompromi, itu yang tertanam di kepala Bebe!
Tetapi, ah, tampaknya Nana tidak seperti itu! Ia sangat baik dan rendah hati! Apalagi sikapnya yang amat hangat tadi saat menyambut kedatangannya kembali di kantor. Spontanitas Nana menghangatkan ruang hati Bebe yang selama ini dingin….
Nana sendiri hari ini sangat gembira. Selain bisa kembali ke rumah lebih cepat dari biasanya, karena Bebe sudah masuk kantor, ia juga ingin segera memberi ucapan selamat ulang tahun kepada ayahnya. Apalagi Mama masak masakan istimewa: soto ayam kesukaan Papa! Rasanya tidak sabar menyantap masakan rumahan itu!
Nana juga ingin segera memberikan hadiah ulang tahun kepada Papa. Sehelai kemeja yang sangat halus buatannya! Tapi Papa belum juga pulang dari ladang. Selama ini mereka masih sangat jarang berbicara. Nana tidak pernah berhasil mengenalnya secara pribadi. Tidak seperti adiknya, Muda. Selain memiliki kesamaan fisik, mereka memang cocok sifatnya. Opung selalu mengatakan hal itu berulang kali.
***
Ketika Papa pulang, hari sudah terlalu malam. Yos, Nana, dan Aji, sudah kehilangan semangat. Lain halnya dengan Mama dan Muda, mereka begitu antusias menyambut Papa. Nana takjub melihat mereka. Kira-kira dari mana, ya, mereka menemukan semangat sebesar itu? Apalagi ekspresi Papa biasa-biasa saja.
Papa tidak menganggap penting hari ulang tahunnya, tapi ia pun tak mau berpura-pura berbahagia karena keluarganya telah merayakan hari ulang tahunnya. Kado Nana juga disambut Papa dengan dingin. “Kenapa harus buang-buang uang hanya untuk memperingati hari kelahiran!” Papa berbicara sambil cemberut.
Nana menghentikan tangannya yang hendak meraih sendok. Dia menatap satu per satu keluarganya yang hadir, sambil menunggu reaksi mereka. Sunyi tanpa reaksi, seolah tanggapan seperti itu adalah hal yang biasa.
Tapi, tiba-tiba si kecil Hara terbangun. “Mama, Opung sudah pulang?” tanyanya dengan mata masih mengantuk. Ia lalu berlari memeluk Papa dan mengucapkan selamat ulang tahun.
Merasa pesta itu terlalu senyap, Hara kemudian berbisik kepada Nana. “Kenapa Opung tidak bahagia di hari ulang tahunnya, Tante?” tanya Hara lugu, sambil memandang bola mata Nana.
Ingin sekali Nana memberikan jawaban, bahwa Opung menganggap perayaan ulang tahun hanyalah pemborosan. Tapi, Nana mengurungkan niatnya. Akhirnya Nana mengatakan bahwa hari sudah malam, sehingga semuanya mengantuk. Hara mengangguk seperti orang dewasa, seakan memahami jawaban Nana.
Ya, mengapa Papa tidak bahagia di hari ulang tahunnya? Mengapa perayaan dianggapnya identik dengan pemborosan, padahal hidangan yang disajikan tidak terlalu mewah? Ini, kan hanya sekali dalam setahun, mengapa Papa tidak mencoba memakluminya? Bagaimanapun, Nana mencoba memahami ayahnya. Sebaiknya pendapatnya tidak usah ditentang, hanya akan menimbulkan konflik.
Ayahnya selalu merasa benar. Walaupun suatu hari pendapatnya terbukti keliru, tetap saja ia tidak mau mengakuinya, bahkan menutupinya dengan bersikap marah. Nana tidak pernah menyukai sikap seperti itu. Ingin sekali Nana mengatakannya, tapi tidak pernah terlaksana, karena hal itu hanya menimbulkan konflik. Biasanya, yang paling bersedih adalah Mama. Dan Nana tidak pernah berkeinginan melihat Mama menangis.
Mereka semua tahu, Mama sangat menghormati dan mencintai Papa. Cinta memang mengalahkan segalanya. Ya, biarlah Papa tidak bahagia, ulang tahunnya dirayakan. Tapi setidaknya, ada orang lain yang lebih berbahagia, yaitu Mama. Wanita terkasih itu selalu mengusahakan perayaan di ulang tahun Papa, agar keluarganya tidak melupakan hari bersejarah itu. Demi Papa tercinta….
Sehari setelah ulang-tahun Papa, Nana mendapati Mama menangis. Nana tidak menanyakan sebabnya, karena ia tahu Mama akan berbicara sendiri jika memang ingin bercerita. Dihapusnya air mata Mama, mereka saling diam duduk bersebelahan. Tiba-tiba Mama menoleh dan memandang Nana sambil tersenyum. Nana memeluk Mama sambil tertawa.
“Ayo, bantu Mama memasak,” Mama berdiri dan beranjak ke dapur. Nana mengikuti dari belakang. Ia tidak pandai memasak seperti Mama. Satu-satunya yang bisa ia lakukan di dapur hanyalah merebus air. Nana tahu, Mama hanya ingin ditemani bercerita. Sambil memotong kentang, Nana menceritakan pengalamannya di kantor hari itu. Sengaja hanya hal-hal lucu yang diceritakannya, sementara Mama menyahuti sesekali. Nana tahu pikiran Mama sedang melayang, tapi Nana tetap berbicara memecahkan sunyi di antara mereka.
“Nana, coba kamu nasihati adikmu, Aji,”Mama memulai pembicaraan. Oh, rupanya Mama menangis karena Aji! “Tadi pagi ia bertengkar dengan Papa.”
Ini berita basi. Sejak dulu keduanya tidak pernah cocok. Biasanya Papa pemicu pertengkaran itu. Nana tahu betul sifat adiknya. Aji pendiam seperti Nana, ia tidak akan berbicara jika tidak diminta. Nana teringat, pertengkaran hebat di antara keduanya. Setamat SMU, sebetulnya Aji ingin sekali jadi tentara, tapi Papa tidak mengizinkan. Papa ingin Aji dan Muda menggantikannya di kebun. Namun, Aji berbeda dengan Muda. Ia punya keinginan sendiri, sementara Muda memang merasa lebih cocok mengurus kebun ketimbang mencari pekerjaan di luaran.
“Aji pulang dalam keadaan mabuk tadi pagi,” Mama melanjutkan ceritanya. Kali ini Nana terbelalak heran. Sejak kapan Aji punya kebiasaan memalukan itu? “Papa menasihatinya baik-baik. Tapi, Aji tidak terima. Ia melawan Papa!” Mama berbicara penuh emosi. Kelihatan sekali Mama membela suaminya.
Nana paham benar situasinya. Sejak kecil Aji jarang membantah, walaupun bukan berarti dia setuju pada pendapat Papa yang suka mengatur. Jika akhirnya ia ‘perang mulut’ dengan Papa, pastilah sudah mencapai puncaknya! Nana tidak ingin memihak siapa pun. Meski hatinya bersimpati pada adiknya, jika Aji mulai mabuk-mabukan, ia pun tidak setuju. Aji sedang melukai dirinya sendiri!
“Mungkin Aji mau mendengarkan kalau kamu berbicara padanya, Nana,” Mama menggenggam jemarinya. Mama yakin putrinya yang satu ini bisa menyelesaikan masalah keluarga mereka. Ah, apa yang harus dilakukan Nana selain berusaha menyanggupinya?
Nana harus mencari saat yang tepat untuk berbicara dengan Aji, hingga terjadilah peristiwa itu. Aji diminta menjaga Hara dan Ijo karena pengasuh mereka pulang kampung. Yos dan suaminya masih di kantor, sementara Papa, Mama, dan Muda pergi ke kebun. Dan, Aji telah tega menelantarkan kedua makhluk mungil itu di rumah hanya gara-gara ia dijemput temannya untuk pergi minum tuak! Ia lupa memberi makan keduanya sebelum pergi!
Beruntung Nana pulang cepat dari kantornya hari itu. Ia terkejut melihat Hara dan Ijo sedang menangis sekuat tenaga, tanpa seorang pun di rumah. Ternyata keduanya mengaku … kelaparan! Duh! Aji keterlaluan betul! Nana marah. Ia harus menegur Aji! Tengah malam barulah adiknya itu pulang ke rumah. Nana sengaja menunggunya untuk menceritakan secara detail kejadian tadi siang. Aji diam saja, tapi dari wajahnya kelihatan betul ia merasa bersalah.
Nana mencium bau tuak dari mulut Aji. Ah, adiknya itu memang sudah berubah! Pergaulan dengan teman-temannya akhir-akhir ini mengkhawatirkan Nana. Tapi diam-diam, ia kasihan melihat Aji. Ia bukannya tidak mempunyai hati nurani. Buktinya, setelah mendengar cerita Nana, Aji pergi ke kamar Hara dan Ijo. Nana melihat sendiri betapa Aji menyayangi mereka. Dengan kata-kata lembut, Aji membisikkan permintaan maafnya kepada dua makhluk cilik yang sedang tertidur lelap itu!
“Tulang berjanji tidak akan pernah menyakiti kalian lagi. Maafkan Tulang, ya…,” ucapnya tersendat. Nana terharu melihat pemandangan itu. Setidaknya Aji masih punya perasaan. Ah, Nana yakin, adiknya itu sedang menahan beban berat di dadanya. Mungkinkah karena pertentangan dengan Papa yang tidak pernah usai?
Hari terakhir di bulan September, Nana mengisi buku catatan tahunannya kembali. Aku mulai menyukai pekerjaanku. Sementara Bebe kursus seminggu ke Medan, aku diminta menggantikan pekerjaannya. Mula-mula terasa nyaman tanpa Bebe karena tidak ada yang marah- marah padaku sepanjang hari. Tapi, melihat pekerjaan yang menumpuk, kehadiran Bebe jadi sangat kuharapkan. Aku baru menyadari betapa pentingnya keberadaannya di kantor!
Yang kuingat dari Bebe selama ini hanya sikapnya yang egois dan menjaga jarak. Tapi, ternyata banyak juga sifatnya yang positif. Selain penuh optimisme dan memiliki vitalitas tinggi, ia persuasif sekali terhadap nasabah. Ia tidak seperti aku yang kesulitan ‘merayu’ mereka. Ah, diam-diam aku bersimpati padanya. Apalagi kelihatannya dia juga mulai membuka diri padaku.
OKTOBER
Nana makin memahami pekerjaannya. Tapi, ia tetap tidak bisa lebih luwes dari sebelumnya. Nana tidak pintar berbicara, ia lebih banyak mendengarkan nasabah ketimbang memperkenalkan produk bank mereka. Beruntung para nasabah di Kota Kecil ini lebih mudah dikenali. Mereka kerapkali menggunakan jasa bank sebagai tempat berkumpul. Tidak jarang nasabah datang hanya untuk mengobrol bersama karyawan bank. Mereka pun tak selalu berpakaian formal. Ada lho, yang datang hanya dengan mengenakan sarung dan… baju tidur!
Nana geli melihatnya. Tapi, Nana mulai mengenali dan menyukai mereka. Mungkin karena selain mereka lebih ramah, para nasabah itu juga tidak terlalu cerewet dengan kebijakan bank. Pelan tapi pasti, Nana melayani mereka tanpa terlalu kikuk lagi. Ia lebih sering tersenyum sekarang.
Diam-diam Bebe memperhatikan perubahan itu, sehingga sekali waktu dia nyeletuk,” Ibu lebih rajin tersenyum, ya!” Bagi Nana, hal itu merupakan pujian. Jarang ada yang memperhatikan apakah dia tersenyum atau tidak!
Dan ketika suatu hari kantor mereka mengadakan piknik bersama di suatu pulau kecil yang indah, tanpa disadari, Nana dan Bebe menjadi makin dekat. Saat Nana diminta bernyanyi untuk mengisi acara, para karyawan kantor memilihkan Bebe sebagai pasangan duetnya. Nana curiga, tampaknya mereka berusaha ‘dijodohkan’ sedemikian rupa. Entah serius atau bercanda, yang jelas kebetulan hanya mereka berdua yang belum menikah!
Keduanya jadi makin mengenal setelah itu. Bebe melihat sisi lain dari Nana yang tersembunyi. Rupanya, selain cerdas, gadis itu punya masalah jika berhadapan dengan publik. Kaku dan cenderung defensif! Buktinya di panggung saat bernyanyi, dia bersikap seolah penyanyi latar saja yang baru belajar bernyanyi!
Di mata Bebe, Nana tidak seperti wanita lain yang pernah dijumpainya. Ia tidak pernah malu-malu menutupi kekurangannya. Padahal dulu, ketika pertama bertemu, dia setengah mati kesal. Apalagi sebelum kedatangan Nana, Bebe membaca curriculum vitae-nya yang tanpa cela. Maka, untuk mengatasinya, dia menciptakan jarak di antara mereka. Tapi, tidak disangka, Bebe mulai menyukai Nana!
Seminggu, setelah pulang dari piknik yang berkesan itu, Nana merasakan keluarganya seperti menyimpan rahasia. Ketika Nana memergoki Mama dan kakaknya, Yos, berbisik-bisik di dapur, Nana sudah tidak sabar. “Ada apa, sih?” tanyanya penasaran.
Tapi, Mama dan Yos saling berpandangan. Membuat Nana makin dikejar rasa ingin tahu. Apakah hal ini berkaitan dengan dirinya? Akhirnya Yos angkat bicara juga. Dia mengatakan bahwa adik mereka, Muda, berencana menikah dengan Fifi, pacarnya.
Hanya itu? Nana memandang Mama dan Yos tidak mengerti. Mengapa mereka seperti enggan menyampaikan kabar gembira itu kepadanya? Tapi, ucapan Yos selanjutnya membuat Nana kemudian memaklumi. ”Jika Muda menikah, berarti kamu dilangkahi. Dan, risikonya, kamu akan dibicarakan orang sekampung, dianggap ‘tidak laku’!”
Mama memegang pundak Yos, sebagai tanda menyuruhnya diam. Dengan suara pelan, Mama lalu berkata,” Mama cuma khawatir kalau adikmu duluan menikah, jodohmu makin jauh. Itu menurut tetua di sini.”
Oh, pantas saja! Rupanya, Mama dan Yos mengkhawatirkan jodoh Nana! “Mama, biarlah Muda menikah duluan. Tidak perlu menunggu-nunggu aku,” Nana tersenyum. Ia merasa tidak ada masalah dilangkahi adiknya.
“Orang-orang kampung akan bergunjing, Na,” Yos mengingatkan.
“Biarlah, Kak. Tak perlu ditanggapi. Nanti kalau sudah capek, kan, mereka akan berhenti sendiri,” Nana menjawab ringan.
Akhirnya Mama dan Yos tak bisa lagi menolak. Mungkin Nana ada benarnya. Jodoh Muda sudah datang lebih dulu, buat apa dihalangi? Muda sendiri begitu bahagia ketika dikabari bahwa Nana setuju dia menikah lebih dulu. Tadinya Muda bertekad, tidak akan melangkahi Nana. Sebagai adik, toh, sepatutnya dia mengalah. Di luar perkiraan, kakaknya malah setuju. Ah, Nana memang luar biasa! Muda jadi makin mengaguminya.
Tapi, tinggal di Kota Kecil ini memang tidak semudah hidup di kota besar. Apalagi jika urusan jodoh. Selain teman-teman kantornya yang kasak-kusuk, Bebe juga sampai merasa khusus menghibur Nana. Ia mengatakan bahwa banyak orang yang dilangkahi adiknya menikah lebih dulu, tapi tetap baik-baik saja. Dan, Nana hanya tertawa mendengar. Ia merasa geli sendiri melihat usaha Bebe untuk menghiburnya.
Begitu pula dengan teman-temannya yang lain. Tapi tampaknya Nana perlu menegaskan satu hal, sehingga berita yang simpangsiur cepat mereda. Bukannya ia tidak bermaksud mengundang mereka semua ke resepsi pernikahan adiknya, apalagi jika itu berkaitan dengan rasa malunya! “Pesta pernikahan adik saya akan berlangsung di Medan, itulah sebabnya saya tidak mengundang kalian semua di sini,” Nana menjelaskan dengan tenang, seakan ia sedang membacakan pengumuman rutinitas di kantor. Nana betul-betul tidak ambil pusing, apa pun pendapat orang lain, itu tidak mengubah jalan hidupnya.
***
Bebe mewanti-wanti Nana agar jangan percaya kepada orang yang baru dikenal. Tapi, Bebe sendiri sangat percaya kepada Nana, yang jelas-jelas baru ia kenal!
Setelah menikah, Muda dan istrinya tinggal di rumah keluarga Nana. Rumah menjadi penuh sesak. Gunjingan para tetangga mulanya didiamkan Nana, tapi lama kelamaan dia terpancing juga. Apalagi setelah didengarnya beberapa tetangganya pergi ke dukun untuk melihat kendala-kendala dalam perjodohannya!
Untuk meringankan bebannya, Nana menceritakan hal itu di telepon kepada seniornya di kantor pusat, Eve. “Anjing menggonggong, kafilah berlalu, Na!” hanya itu usul Eve. Usia kepala tiga tidak membuat Eve sakit kepala atau merasa dikejar urusan jodoh. Ia tetap tampak bahagia dengan kesendiriannya.
Sejak itu, setiap kali Nana merasa tertekan dengan gunjingan tetangga, dia ingat Eve dan membayangkan apa yang dilakukannya jika hal itu terjadi padanya. Cuek. Dan, itulah yang dilakukan Nana. Hm, bagus juga jika punya panutan, pikir Nana. Lebih baik jika ia ambil cuti dulu untuk menenangkan diri. Tapi, setidaknya harus menunggu pengumuman beasiswanya yang mungkin baru keluar awal November!
Nana merancang cutinya bertepatan dengan pengumuman beasiswa S3-nya ke Belanda. Dengan begitu, dia dapat mendatangi Kepala Bagian Personalia di kantor pusat, Jakarta, untuk minta persetujuan mereka. Pengumuman tersebut sesuai rencana Nana. Cuti Nana disetujui awal November. Ah, rasanya Nana tidak sabar menunggu hari itu tiba. Dia rindu pada Eve. Banyak sekali yang ingin didiskusikannya bersama Eve, terutama masalah Bebe. Nana senang sekali beasiswanya disetujui, berarti dia bisa menyusul sahabatnya, Pridy, yang telah lebih dulu menerima beasiswa ke Belanda.
Namun, kesibukan menjelang cuti membuat Nana melupakan pekerjaannya yang rutin. Hal ini membuat sewot Bebe. Beberapa kali Bebe marah kepadanya. Bebe tahu, selama Nana cuti, dialah yang akan menggantikan pekerjaannya. Ya, begitulah komitmen dari bank tempat mereka bekerja. Bebe juga tahu, Nana cuti ke Jakarta sekaligus mengurus surat permohonan beasiswanya. Kalau disetujui, itu berarti Nana tidak akan kembali ke Kota Kecil ini. Hal itulah yang membuat Bebe uring-uringan!
Dan, puncak kemarahan Bebe adalah ketika Nana lupa menanyakan nama seorang penelepon yang mencari Bebe. Bahkan, Nana juga lupa menanyakan ke mana Bebe harus menelepon balik. Ugh. Bebe sampai membanting pena yang digenggamnya, hingga terjatuh di bawah kaki Nana! Sikapnya itu membuat Nana takut. Belum pernah ia melihat Bebe semarah itu! Dan, kecamannya yang pedas membuat Nana menangis. Nana dimarahi seakan ia menggelapkan uang ratusan miliar.
Keesokan harinya, tinggal sehari lagi Nana bekerja sebelum memulai cutinya. Ia bekerja ekstra hati-hati. Nana tidak ingin membangkitkan kemarahan Bebe. Sebisa mungkin, Nana menghindarinya. Tapi sore harinya, Bebe memanggilnya. Dan tanpa diduga Nana, Bebe mengucapkan ‘selamat cuti’ kepadanya dengan nada simpati. Selain itu, Bebe juga mengharapkan Nana dapat kembali bekerja bersamanya. “Saya ingin sekali Ibu kembali lagi ke Kota Kecil ini,” kata Bebe dengan tulus. Nana terharu mendengarnya.
NOVEMBER
Nana gembira sekali bertemu Eve, senior sekaligus sahabat baiknya di kantor pusat. Apalagi Eve kemudian memperkenalkan Nana pada Otto, seorang pria berkulit gelap yang bekerja sebagai konsultan di kantor pusat dan diyakini Eve sebagai pangeran impiannya. Ah, akhirnya ada juga pria yang memahami Eve!
Sementara Eve melanjutkan pekerjaannya, Nana menemui Kepala Bagian Personalia, Pak Yan. Dia telah menelepon dua hari lalu untuk bertemu. Sebetulnya Nana tidak yakin permohonannya untuk sekolah lagi akan dikabulkan, karena ia terbilang karyawan baru.
Benar saja! Pak Yan mengatakan, peraturan kantor menegaskan, karyawan yang diperkenankan sekolah adalah mereka yang sudah bekerja minimal selama dua tahun! Sehingga, permohonan Nana untuk menggunakan beasiswa ditolak, karena ia belum setahun bekerja.
Sepulang kerja Eve menghibur Nana dengan mengajaknya berjalan-jalan di mal. Mereka banyak bercerita tentang Bebe. Dan, dari informasi Eve, Nana jadi mengerti satu hal tentang Bebe. Pria itu rupanya masuk kategori ‘anak manja! Bahkan, menurut Eve, sebagai teman seangkatan Bebe, ia tahu betul alasan Bebe ditugaskan ke Kota Kecil. Tak lain karena pimpinannya ingin agar ia menjadi lebih mandiri dan dapat mengatasi kemanjaannya yang berlebihan.
“Aku kenal Bebe sudah lama. Selain manja, dia tukang ngambek!“ Eve memulai ceritanya lebih rinci, ketika malam harinya Nana menginap di rumah Eve. Jika sudah berhasil menjadi teman baiknya, ya, bersiap-siap sajalah untuk dibatasi ‘wilayah pertemanannya’. Bebe akan ngambek, merasa tersisih, sehingga enggan berbagi temannya kepada orang lain.
Tapi, menurut Eve lagi, Bebe punya kelebihan yang tak pernah dilupakannya. Ketika suatu hari Eve terlibat konflik dengan seorang rekan kerjanya di kantor, Bebe menghiburnya mati-matian. ”Pokoknya saat itu aku merasa beruntung sekali ada Bebe yang menemani. Rupanya, Bebe tipe seorang sahabat yang benar-benar setia berbagi suka maupun duka!”
Terus-terang, Nana geli mendengar cerita tentang Bebe. Tidak disangka, atasannya di Kota Kecil itu memiliki kepribadian unik. Nana membayangkan perasaan Bebe, berada di kota asing tanpa keluarga dan teman-teman untuk berbagi. Dan, dia sudah menjalaninya selama dua tahun.
Ah, jika saja Nana seperti Bebe, mungkin dia dapat mengatasi kebosanannya dengan banyak membaca dan menulis. Tapi, kan menurut Eve, Bebe tidak begitu suka membaca, dan juga tidak suka menulis. Ugh, kasihan sekali Bebe! Mungkin benar kata Eve, kita harus benar-benar mengenalinya, baru bisa memahami sifatnya yang rada ‘ajaib’! Nana bertekad akan memulainya segera sekembalinya ia ke Kota Kecil….
Nana juga menemui Pak Adi, mantan dosen sekaligus penasihat pribadinya. Nana selalu berharap, ayahnya seperti Pak Adi. Tapi, makin berharap, Nana makin menyadari betapa dirinya seperti pungguk merindukan rembulan. Ayahnya adalah pribadi yang sangat berbeda dengan Pak Adi. Selain senang mengatur dan jarang bicara, Papa juga sulit diajak kompromi. Tapi anehnya, Mama dan Nana begitu mencintainya!
Bersama Pak Adi, Nana mampu membahas banyak hal. Termasuk membicarakan teknis penulisan buku yang segera mereka terbitkan bersama. Nana bertindak sebagai editor buku ilmiah yang ditulis Pak Adi. Nana punya mimpi, suatu hari kelak ia juga akan bisa seperti Pak Adi – menulis buku-buku ilmiah yang laris di pasaran. Nana ingin jadi Stephen King-nya Indonesia, seorang pengarang fiksi yang juga dikenal sebagai penulis buku non-fiksi.
Sekembalinya dari cuti di Jakarta, sudah banyak pekerjaan menanti Nana. Ada titipan dari Eve untuk Bebe yang diterimanya dengan gembira. Dan, gara-gara itu pula, Bebe cemberut menyambut Nana. Ia menduga Eve banyak bercerita tentang dirinya, terutama yang negatif, kepada Nana. Dan, dengan modal kejujurannya, seperti biasa Nana membenarkan hal itu. Oh, rasanya Bebe ingin betul menjitak kepala Eve yang dianggapnya tidak bisa menyimpan rahasia.
“Oh, ya, Bu, mana pin dasi yang ingin Ibu belikan?” tiba-tiba saja, ketika sedang mencoba dasi kiriman dari Eve, Bebe melontarkan pertanyaan yang mengejutkan Nana.
“Lho, Bapak sendiri, kan bilang, tidak usah beli? Ya, saya tidak jadi membelinya, karena takut Bapak tidak suka!” Nana teringat, suatu kali ia memang sempat menelepon Bebe untuk menanyakan warna pin dasi kegemarannya yang akan dibelikannya sebagai oleh-oleh. Tapi, saat itu Bebe nyeletuk ‘tidak usah beli’. Ya, sudah. Nana tidak jadi membelikannya. Tiba-tiba saja sekarang Bebe malah menanyakan pin dasi itu!
“Saya, kan cuma basa-basi, Bu. Seharusnya Ibu membelikan sebagai oleh-oleh,” Bebe tampak kesal dengan kepolosan Nana.
“Wah, maaf sekali, Pak. Saya tidak tahu Bapak hanya basa-basi. Lain kali, lebih baik Bapak bilang saja ya, terus terang. Saya tentu akan membelikannya dengan senang hati,” Nana menjawab lugu.
“Ya,sudahlah,” Bebe menyesal sekali dengan ketidakterusterangannya. Dia memang berbeda dengan Nana yang terbiasa berbicara terbuka. Wajar saja jika Nana tidak memahami maksud Bebe. Wanita satu ini memang benar-benar polos. Bebe tersenyum memandang Nana. Nana tidak mengerti arti pandangan Bebe, dan diam-diam merasa rikuh dipandangi sedemikian rupa oleh Bebe.
Malam hari, seperti biasanya Nana menulis buku hariannya. Aku baru saja pulang cuti. Eve telah menemukan tambatan hatinya. Otto kelihatan baik hati dan sabar. Nana membandingkan Otto dengan Bebe, seperti langit dan bumi. Mendengarkan cerita Eve tentang Bebe, membuat Nana prihatin. Bebe egois dan posesif. Maunya menguasai, bahkan jika kita temannya sekalipun.
Aku juga bingung, mengapa Bebe tidak pernah percaya pada kebaikan. Bagi Bebe, orang yang saling berbaikan karena mereka sedang membutuhkan. Rasanya kalimat Bebe kejam, tapi Nana mesti mengakui, kenyataan itulah yang terjadi di kehidupan nyata. Menurut Eve, mungkin saja Bebe mengalami trauma di masa lalunya. Tapi bagiku, Bebe merupakan pribadi yang menarik dengan segala kekurangannya. Sekuat tenaga aku mencoba menggali berbagai hal yang positif dari Bebe.
Sungguh tidak mudah, karena dalam keadaan marah pikiran positif tentang Bebe hampir tidak muncul. Tapi, mesti diakui, aku harus berterimakasih pada Bebe. Menghadapi tingkah lakunya, aku melatih kesabaranku. Tak hanya itu, Aku juga jadi lebih tegar dan belajar memahami orang lain.
Jika ada masalah, aku lebih dulu memulai komunikasi, karena aku tahu Bebe tidak akan mau memulai duluan. Dia gengsi. Nana hafal benar sifat Bebe. Saat bersalah, dia tidak minta maaf, hanya saja kelihatan dari sikapnya, bahwa dia malu dengan perbuatannya. Cuma itu. Ah, sebenarnya Bebe mengingatkanku pada seseorang di masa laluku. Seseorang yang telah kubunuh dari pikiranku!
Nana menutup buku hariannya. Ia memandang langit-langit kamar dengan mata menerawang. Bebe sedang apa, ya, sekarang. Apakah dia sedang memikirkanku juga? Nana tersenyum, pelan-pelan memejamkan matanya. Dia ingin Bebe hadir dalam mimpinya.
***
DESEMBER
Beberapa hari setelah libur Lebaran, Bebe melakukan kesalahan. Tanpa sengaja dia meninggalkan kunci kantor di luar. Kunci tersebut ditemukan oleh orang lain. Kepala cabang marah dan menasihati Bebe dan Nana. Bebe kelihatan tidak suka kecerobohannya diketahui atasannya. Dia memanggil Nana ke mejanya “Siapa yang memberikan kunci itu ke Ibu?” tanyanya geram.
“Pak Tio, Pak,” Nana menyebutkan nama seorang karyawan mereka di bagian administrasi. Menurut Pak Tio yang memberikan kunci itu ke Nana, kunci itu diperolehnya dari salah seorang nasabah mereka yang kebetulan menemukannya di luar.
“Lalu, yang melaporkan peristiwa itu ke bos siapa?” Bebe bertanya lagi.
“Melapor?” Nana balik bertanya.
“Ya. Yang mengadu ke bos siapa?” Bebe jengkel.
“Saya tidak tahu, Pak. Setahu saya, sih, tidak ada yang melapor. Kalau tidak salah dengar tadi, bos mengetahuinya, kan dari nasabah bersangkutan yang menemukan kunci itu,” Nana heran dengan prasangka Bebe.
“Oh, jadi Ibu belum tahu ya, kalau di kantor selalu ada penjilat?” Bebe berbicara sinis.
“Sungguh, saya tidak melapor ke bos,” Nana merasa tidak enak hati. Bebe seolah sedang menuduhnya.
“Bukan Ibu yang saya maksud, tapi orang lain!” kata Bebe ketus.
“Mungkin itu hanya prasangka Bapak saja. Saya yakin, semua orang yang bekerja di kantor ini baik-baik, kok,” Nana berusaha menepis dugaan Bebe. Ah, jelek betul pikirannya! Menuduh orang sembarangan!
“Saya, kan sudah pernah bilang, Bu. Tidak ada orang baik di dunia ini. Mereka cuma ada di sinetron!” tegas Bebe sinis. Lalu sambungnya, “Jika ada orang yang baik, itu tentu karena mereka ada pamrih!”
Nana memandang Bebe prihatin. Mulanya ia berharap kalimat itu bukan keluar dari mulut Bebe, tapi dari radio rusak yang salah frekuensi. Tiba-tiba saja Nana merasa sedih. Matanya berkaca-kaca. Dalam hatinya dia berbisik, Ya, Allah, makhluk apa ini? Dia tidak percaya pada kebaikan manusia. Baginya kebaikan hanyalah pamrih!
Sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumahnya, benak Nana dipenuhi rasa kasihannya pada Bebe. Ia jadi teringat pada dirinya sendiri, ketika masa-masa kuliah dulu. Kalau saja bukan karena Andriana, seorang teman baiknya, keturunan Tionghoa, yang kebetulan punya nama persis sama dengannya, Nana tentu tidak setoleran sekarang. Mungkin, Bebe akan mendapat saingan ‘orang aneh’ yang tidak kalah memprihatinkan keadaannya!
Ya, Andriana. Nana teringat temannya yang bermata sipit dengan rambut lurus sebahu dan perawakan sedang. Perkenalan mereka terjadi karena inisiatif Andri, begitu panggilan wanita berkacamata yang punya lesung di pipinya itu, ketika suatu hari menegur Nana dengan hangat di kampus. Bersama Andri ‘saudara kembarnya’ – itu istilah yang akhirnya mereka sepakati bersama di kemudian hari – Nana melewati hari-harinya sebagai mahasiswa.
Dibandingkan Nana yang sangat pendiam, Andri lebih banyak bicara. Di kelas mereka, Nana memang dikenal sebagai ‘si nona Batak yang galak’. Tapi, Andri tak pernah menjauhinya. Makin Nana menolak kehadirannya, Andri makin ingin menjadi temannya. Dia tak pernah lelah mengajak Nana untuk makan siang bersama, dan menemaninya pergi ke toko buku. Ketika Nana menampik ajakannya dengan kasar pun, Andri tak putus asa. Ia tetap bersikap ramah dan baik hati.
Hingga pada suatu hari, Nana menderita penyakit lever yang serius. Ia terbaring di rumah sakit, tanpa ada seorang pun sanak keluarga yang menemaninya. Nana sedih sekali. Baru terasa olehnya kehadiran seorang teman seperti Andri, yang dengan setia menungguinya. Itulah awal kedekatan mereka sebagai sahabat. Mereka jadi lebih mengenal satu sama lain. Bersama Andri, Nana dapat lebih menghargai makna sebuah persahabatan.
Melihat kebaikan Andri, Nana justru dapat melihat kebaikan pada dirinya sendiri. Andri mengajarkannya untuk menghargai kasih-sayang dari orang lain. Sejak itu, Nana bersikap lebih terbuka dan bersedia menerima uluran persahabatan dari siapa pun di kampus. Termasuk Pak Adi, dosennya yang kemudian amat dipercayai Nana untuk menjadi mentornya.
Kini melihat Bebe, Nana merasa kejadian yang pernah dialaminya terulang kembali. Nana yang egois dan ingin memang sendiri. Nana yang suka berpikiran negatif terhadap orang lain. Kalau dulu Nana beruntung bertemu dengan Andri, maka Nana merasa berutang pada dirinya sendiri untuk memberi tahu Bebe bahwa masih banyak hal yang baik di dunia ini. Dia bertekad ingin menjadi sahabat Bebe, dan melakukan seperti yang pernah dilakukan Andri pada dirinya. Nana sadar hal itu tidak mudah, apalagi dia tidak memiliki kesabaran sebesar Andri. Tapi, Nana harus mencobanya. Ya, harus!
JANUARI
Awal tahun, saat yang paling baik untuk berbenah diri. Nana sudah berdoa sepanjang malam, agar tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Nana berdoa khusyuk untuk keluarganya dan juga… Bebe. Entah mengapa, Nana merasa makin dekat dengan Bebe. Bermula dari rasa kasihannya, dan persamaan dirinya di masa lampau, Nana mencoba untuk lebih memahami pria itu. Mengapa dia mudah marah-marah dan tak pernah mau mengalah pada orang lain. Mengapa dia kerap uring-uringan, mencari-cari kesalahan Nana sebagai mitra kerjanya…. Ha, pelan-pelan Nana makin mengenal Bebe.
Begitu pula Bebe. Setiap kali ada acara di luar kantor, ia selalu mengajak Nana. Rupanya Bebe mulai merasa nyaman berada di dekat Nana. Di matanya, Nana merupakan teman bicara yang mengasyikkan. Selain wawasannya luas, gadis itu amat sabar menghadapinya. Tak heran, suatu hari Bebe menumpahkan unek-uneknya kepada Nana. Katanya, ia sudah bosan bertugas di Kota Kecil ini! Ekspresi wajah Bebe persis sama ketika kali pertama Nana melihatnya dari boks ruang ATM di hari pertama ia bekerja.
“Saya ingin pindah dari sini,” ujarnya dengan wajah yang menyiratkan kebosanan luar biasa. Nana mendengarkan sambil memandang Bebe lekat-lekat.
“Kenapa Bapak pindah kemari?” tanya Nana mengejutkan Bebe.
“Saya dipindahkan atasan saya, Bu! Dia seorang wanita yang sangat arogan dan ingin memperlihatkan kekuasaannya kepada semua orang!” Bebe melotot dengan ekspresi lucu.
Mau tak mau Nana geli melihatnya. Bagi Nana, sebetulnya Bebe tipe pria yang tidak membosankan. Dan, asalkan dia mau berusaha sedikit… saja, dia pasti akan sangat menarik!
“Apakah Ibu memiliki teman yang bersedia menggantikan posisi saya?” Bebe bertanya serius. Tidak mudah mendapatkan seorang relawan yang bersedia dengan senang hati ditempatkan di Kota Kecil ini. Kecuali… Nana, tentunya!
“Ah, saya saja akhirnya menyesal bertugas di sini, Pak!” Nana nyeletuk. Dan, tiba-tiba saja ia merasa kelepasan bicara.
Bebe memandang Nana heran. “Lho, bukannya Ibu sendiri yang minta ditempatkan bekerja di sini? Ibu, kan lahir di Kota Kecil ini?”
Nana menghela napas. “Ya, mulanya, sih, begitu. Tapi, rupanya Kota Kecil ini sudah berubah. Meskipun saya mencintainya, saya tidak betah lagi berada di sini. Tampaknya taruhan teman-teman saya benar. Saya tidak cocok bekerja dengan mobilitas tinggi. Apalagi berhadapan langsung dengan para nasabah. Keinginan mereka yang beragam, tidak sungguh-sungguh saya pahami,” Nana bertutur jujur.
“Ibu tidak menyukai pekerjaan di sini?” Bebe menaikkan alisnya. Tampaknya ia mulai tersinggung lagi!
Nana menggelengkan kepalanya. “Bukan itu maksud saya. Ini berkaitan dengan ‘jiwa’ saya, Pak. Saya tahu betul, pekerjaan saya di kantor pusat dulu, yang lebih banyak mengolah data, agaknya lebih cocok dengan jiwa saya. Saya berbeda dari Bapak yang tampaknya amat enjoy berhadapan dengan nasabah. Bapak bahkan mampu merayu mereka untuk menanamkan uangnya di sini,” Nana memuji tulus.
Bebe jadi salah tingkah. Pujian Nana secara tidak langsung telah menerbangkannya ke awan. Tidak pernah seorang wanita pun yang pernah memujinya, dengan cara yang seperti dilakukan Nana! Bebe sungguh merasa tersanjung, rasanya ia tidak jadi marah….
“Hm, rupanya saya berbeda dengan Ibu. Alasan saya, sih, sebetulnya sederhana. Saya hanya ingin dekat dengan keluarga saya. Saya kesepian di Kota Kecil ini.” Bebe kelihatan sedih. Lebih lanjut ia menceritakan, bahwa hanya dialah satu-satunya karyawan seangkatannya yang ditempatkan di luar Pulau Jawa. Kelihatan sekali ia merasa dianaktirikan! “Mungkin atasan saya, wanita yang supercerdas itu, berpendapat, saya memang patut ‘dibuang’ kemari!”
Pembicaraan serius mereka hari itu ditutup dengan pernyataan Bebe. Bulan depan, katanya, ia cuti. “Sekaligus mengurus kepindahan saya,” tandasnya tegas. Entah kenapa, tiba-tiba Nana merasakan nyeri di hatinya.
Mengapa Bebe ingin pindah justru pada saat mereka mulai dekat? Membayangkan harus menjalani pekerjaannya tanpa Bebe sampai Juli bulan depan membuat pandangan Nana berkunang-kunang.
***
Bebe mewanti-wanti Nana agar jangan percaya kepada orang yang baru dikenal. Tapi, Bebe sendiri sangat percaya kepada Nana, yang jelas-jelas baru ia kenal!
FEBRUARI
Pridy, sahabat Nana yang kuliah di Belanda dan bekerja di Yayasan Pembela Konsumen, sedang libur dan pulang ke Indonesia. Nana menerima teleponnya suatu pagi. Ia minta tolong pada Nana untuk membantu sepupunya Kenny, yang dipindahtugaskan ke Kota Kecil.
“Kenny bekerja di Lintas Info. Dia tidak punya teman dan keluarga di sini. Aku jadi ingat kamu, Na! Kamu bisa membantunya?” tanya Pridy.
“Dengan senang hati, Pridy. Sepupumu bahkan boleh tinggal dulu di tempatku sebelum ia mendapatkan tempat kos yang cocok,” Nana menawarkan bantuan. Setelah bertukar cerita dengan seru, Nana menuliskan tanggal kedatangan Kenny di buku agendanya. Tinggal tiga hari lagi.
Dan, hari itu datang dengan cepat. Kenny, sepupu Pridy itu ternyata sangat tampan! Penampilannya santai, tapi keren. Biarpun agak kurus, menurut Nana, dengan rambutnya yang cepak dan wajah indo-nya, Kenny tergolong pria yang sukar dicari tandingannya di Kota Kecil ini.
Setelah beberapa lama mengenalnya, Nana juga tahu bahwa Kenny amat berbeda dengan Bebe. Dia pendengar yang baik. Bahkan, ompung Nana pun sangat menyukainya, karena dengan sabar Kenny mau mendengarkan kisah-kisahnya di masa lampau. Nana melihat Kenny sungguh-sungguh mendengarkan bukan hanya sekadar basa-basi.
Kedekatan Nana dengan Kenny berjalan begitu saja. Apalagi letak kantor tempat Kenny bekerja persis berada di depan kantor Nana. Kebetulan? Ah, entahlah! Nana dan Kenny kerap kali tertawa bila membicarakan hal itu. Yang jelas kedatangan Kenny, tak ditanggapi antusias oleh Bebe. Bahkan, tampaknya ia merasa mendapatkan saingan. Mungkin cerita Eve kepada Nana mulai terbukti. Bebe tak rela berbagi teman.
Sehari menjelang cutinya yang akan berlangsung selama tiga minggu, Bebe mengakui perasaan irinya terhadap Kenny. Tentu saja ditanggapi dengan geli oleh Nana. Sampai-sampai Nana perlu menegaskan,” Percayalah, Pak. Anda tak akan tergantikan.…”
Kalimat yang diucapkan Nana paling tidak membuat Bebe merasa tenang. Benar saja, selama Bebe cuti, Nana rajin menghubunginya. Jika kesulitan sesuatu di dalam pekerjaannya, Nana selalu menanyakan pendapat Bebe. Hampir setiap hari pula Nana menanyakan perkembangan permohonan Bebe untuk pindah tugas. Setiap kali Bebe menjawab, ‘belum ada kabar’, Nana merasa lega.
Tampaknya Bebe masih harus menunggu lama…. Entah, sampai kapan. Berbeda dengan Nana, yang sewaktu-waktu dapat kembali bekerja di kantor pusat. Sebagai tenaga spesialis yang memiliki keahlian analisis makro dan mikro ekonomi, tidak sulit bagi Nana untuk ‘pulang’. Apalagi bosnya, Pak Hadi, hanya menganggap Nana bertugas sementara saja di kantor cabang. “Sekadar untuk menambah wawasan saja kan, Na? Kapan pun, kamu bisa hubungi saya untuk segera kembali,” tegasnya, memberikan garansi kepada Nana yang merasa bersyukur memiliki atasan yang dapat memahami dirinya.
MARET
Nana senang sekali melihat Bebe kembali, dan seperti biasa, dia tidak menyembunyikan perasaannya. “Terima kasih, Pak. Anda sudah datang tepat waktu. ”Nana duduk di depan Bebe.
“Ya,” hanya itu jawaban Bebe
“Anda bertemu Eve dan Otto?” Nana ingin tahu bagaimana perasaan Bebe ketika tahu bahwa Eve sudah punya calon pendamping yang setia. Tapi, tampaknya Bebe tak ambil peduli. Lagi-lagi ia menjawab singkat pertanyaan Nana.
“Ya,” katanya tanpa semangat untuk bercerita. Ketika Nana masih tetap menunggu, Bebe terpaksa mengusirnya. “Saya masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Bu,” ia berkata tanpa mau tahu kekecewaan Nana.
Nana terpaksa menahan diri untuk tidak marah. Ini hari pertama Bebe kembali dari cutinya. Tentu dia masih lelah. Ya, Nana harus bersabar. Akan datang saatnya Bebe bercerita tentang kelanjutan usahanya mengurus permohonan pindahnya dari Kota Kecil ini. Ah, Nana sungguh ingin segera mendengar hasilnya. Apakah dia akan segera kehilangan Bebe?
Sikap Bebe kadang-kadang menunjukkan kalau dia atasan Nana dan sering menjaga jarak dengannya. Bagaimana Nana bisa menjadi sahabat Bebe jika dia tidak pernah bersikap terbuka? Nana tidak tahu apa-apa tentang Bebe. Bagaimana keluarganya, berapa saudara yang dimilikinya, dan bagaimana … hmm, bagaimana tipe ideal kekasih yang diimpikan Bebe? Laki-laki itu bersifat manja, namun tergolong introvert! Nana betul-betul bingung menghadapi Bebe!
APRIL
Banyak pekerjaan Bebe yang tidak selesai, beruntung ada Nana yang membantunya. Sekuat tenaga ia membangkitkan semangat Bebe yang dijangkiti penyakit bosan yang parah. Hampir setiap hari Nana mengirim SMS. Every day in every way I love you, begitu pesannya — seperti yang dulu selalu dikirimkan ‘saudara kembar’-nya, Andri, kepadanya Tapi, tetap saja tidak ada respons. Seminggu dua minggu, Nana masih mampu bertoleransi dengan beban kerja yang ada, tapi kesabaran Nana pun ada batasnya.
Nana tidak bisa terus begini. Mengerjakan pekerjaan Bebe dan menutupi setiap kesalahannya di depan Pak Jey, kepala cabang mereka. Bebe telah melalaikan tugasnya. Bebe justru pulang lebih awal di saat banyak perusahaan harus membagikan gaji kepada para karyawannya. Terpaksa lagi-lagi Nana yang harus turun tangan. Dia lembur mengerjakan pembagian gaji beberapa perusahaan tersebut bersama-sama rekan kerjanya yang lain. Dan ketika Pak Jey mempertanyakan kehadiran Bebe, Nana masih berusaha melindunginya.
Pak Bebe tidak enak badan, Pak. Dia minta izin pulang lebih awal tadi,” katanya masih mencoba memahami kondisi hati Bebe.
“Ya, sudahlah. Kerjakan baik-baik, saya tahu kamu bisa diandalkan,” kata Pak Jey, tersenyum membuat hati Nana tenang.
Keesokan harinya Nana menceritakan kejadian itu secara terus terang kepada Bebe. Tidak ada tanggapan. Bebe bersikap seolah-olah tidak bersalah. Seperti biasanya, minta maaf pun tidak! Nana menahan kejengkelannya sampai ke ubun-ubun. Akhirnya dia tak bisa lagi menahan dirinya. Setengah menangis, Nana membicarakan apa yang dipikirkannya tentang Bebe sepulang dari cutinya.
“Saya hampir-hampir tidak mengenali Anda lagi, Pak! Saya mengerti Anda jenuh, tapi bukan berarti Anda bisa seenaknya meninggalkan pekerjaan Anda!” kata Nana tegas, mengejutkan Bebe. Baru kali itu dia melihat Nana begitu marah dan kecewa. Wajahnya tampak merah dan matanya berkaca-kaca. Nana bilang, Bebe menjadi banyak berubah sepulang dari Jakarta.
“Apakah hal ini ada kaitannya dengan permohonan kepindahan Anda dari Kota Kecil ini yang tidak ada kelanjutannya, Pak?” Nana ‘menembak’ tanpa tedeng aling-aling. Padahal, kata Nana lagi, jika kebosanan Bebe sudah memuncak, paling tidak,’kan Bebe bisa mencari jalan keluar yang lain.
“Apa, Bu? Katakan pada saya, apa yang harus saya lakukan?” Bebe bertanya dengan nada datar. Dia benar-benar terlihat bosan!
“Apa hobi Anda, Pak?” Nana bertanya setelah sekian lama berpikir keras.
“Apa, ya? Saya suka sekali jalan-jalan dan bertemu banyak orang. Berbeda dengan Ibu, ya. Anda kan lebih nyaman berada di belakang meja.” Kalimat terakhir Bebe seolah menyindir, tapi Nana tidak peduli. Ia menyarankan pada Bebe untuk mengisi kebosanannya dengan banyak membaca. Nana berharap, dengan begitu Bebe bisa menghibur dirinya sendiri.
“Atau, Anda lebih baik cepat-cepat mencari pendamping, Pak! Sehingga Anda punya teman setia untuk berbagi!” Entah kenapa, kalimat itu meluncur dari mulut Nana. Dan, reaksi Bebe sungguh mengejutkan. Ia tertawa keras sambil menatap Nana. Entah dari mana gagasan itu didapat Nana! Berani betul dia menasihati Bebe. Seolah-olah Bebe seorang anak kecil yang tak tahu apa-apa….
***
Ketika keesokan harinya Bebe tidak masuk kantor, Nana tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia mengunjungi Bebe. Nana ingin tahu alasannya, mengapa Bebe makin menarik dirinya. Apalagi ketika sebelumnya Nana menelepon ke ponsel Bebe, tidak ada jawaban. Tapi, tidak ada seorang pun yang membukakan pintu. Hampir putus asa, Nana memutuskan untuk pulang. Ketika itu, dia mendengar suara kunci diputar. Secepat kilat Nana membalikkan tubuhnya. Dilihatnya Bebe di depan pintu tanpa kurang suatu apapun.
“Silakan masuk, Bu.” Bebe tak menyangka Nana akan datang. Dari cerita Bebe akhirnya Nana tahu mengapa ia tidak ngantor hari ini. Masalahnya berawal dari warung di muka rumah Bebe. Warung itu menjual minuman keras sehingga banyak orang yang ‘suka minum’ berkumpul di sana. Ketika tempat itu digerebek polisi, Bebelah yang dituduh sebagai penyebabnya. Katanya, dia yang melapor ke polisi!
Cerita Bebe makin lengkap dengan kedatangan Pak Poltak, teman sekantor mereka. Menurutnya, masyarakat sekitar rumah Bebe sebetulnya sudah lama merasa terganggu dengan aktivitas anak-anak muda yang suka bermabuk-mabukan di warung itu. Keributan mereka mengganggu ketenangan warga setempat. Ketika semalam tempat itu digerebek polisi, anak-anak muda tersebut sempat diciduk. Mereka mendekam sehari di penjara sebelum akhirnya ditebus oleh Pak Pardi. Anehnya, setelah keluar, mereka lalu ramai-ramai menuding Bebe sebagai orang yang melaporkan mereka ke polisi!
“Pak Pardi? Pak Pardi yang mana?” Pertanyaan Nana yang spontan membuat Bebe dan Pak Poltak saling berpandangan.
“Pak Pardi, nasabah kita yang bekerja di perusahaan pengangkutan,” jawab Pak Poltak.
“Oh, begitu,” sahut Nana.
“Bisa jadi Pardi membenci saya. Sejak kejadian kemarin, anak-anak muda itu sering teriak-teriak mengejek saya, bahkan melempar botol segala!” Bebe berbicara penuh emosi.
Nana dapat merasakan kemarahan Bebe. Nana yakin Bebe merasa harga dirinya diinjak-injak. Nana ingat nasabah bernama Pardi. Orangnya simpatik, tidak terlintas dalam pikiran Nana orang itu dapat melakukan hal keji! Ketika Bebe mengepalkan kedua tangannya sambil berkata keras bahwa ia akan membalas perbuatan Pardi, Nana terperangah. Dia ingin mengatakan sesuatu. Tapi, sebelum dia berbicara, Bebe sudah mengangkat tangannya.
“Sudahlah, Bu, jangan menasihati saya lagi! Saya benar-benar sudah bosan!” Ucapan Bebe kembali mengejutkan Nana, dan bahkan Pak Poltak. Mereka tak dapat berkata apa-apa lagi. Rupanya, Bebe benar-benar marah. Melihat sikap Bebe yang tak mau menerima masukan dari orang lain, Nana makin merasa kasihan padanya.
Peristiwa itu ternyata tidak berakhir sampai di situ. Hari Sabtu, ketika Bebe berjanji bersama Nana menonton pertandingan tenis antarbank di Kota Kecil, ia tidak datang. Nana lama menunggu sehingga akhirnya lagi-lagi ia memutuskan untuk menyusul Bebe di rumahnya. Tiba di sana, ia melihat keributan. Bebe berada di warung di depan rumahnya. Tampaknya ia sedang terlibat pertengkaran dengan wanita pemilik warung!
Nana berlari menghampiri dengan khawatir. Dengan sigap ia menarik Bebe untuk menjauh dari situ. “Sudahlah, Pak. Mari kita pergi. Pertandingan tenis yang akan kita tonton sudah dimulai,” katanya mengingatkan Bebe. Kalau sudah marah, Bebe tidak akan melihat lawannya seorang wanita atau bukan!
Nana sedih sekali melihat Bebe. Kemarahannya makin tidak terkendali. Nana cemas terjadi sesuatu pada dirinya. Akhir-akhir ini tampaknya ia makin tertekan saja. Untuk menetralisasi suasana, Nana lalu mengajak Bebe jalan-jalan saja. Mereka tidak jadi menonton tenis. Hari itu mereka menghabiskan waktu bersama di pantai. Bebe yang mengajak Nana ke sana.
Mendengarkan suara alam, itu yang pernah dikatakan Nana ketika suatu hari mengatakan, bahwa ia senang sekali bermain di pasir putih dan deburan ombak. Rupanya, Bebe masih mengingatnya! Ah, kali itu pun Nana bermain dengan riang, mengumpulkan pernak-pernik pantai yang bagi Bebe sendiri mungkin tidak ada artinya.
Setiap kali Nana berhasil menemukan kerang yang bagus bentuknya, ia akan terlonjak kegirangan. Bebe senang sekali melihat Nana tertawa seperti anak kecil. Ah, gadis ini memang istimewa, Bebe berbicara dalam hatinya. Benda-benda laut yang dikumpulkannya, katanya, dapat mengeluarkan ‘suara alam’ yang indah! Dan, ketika memandang langit di sore hari, katanya di balik awan itu ada suatu negeri. Negerinya para bidadari!
Ketika tanpa diduga Nana memandangnya dengan lembut, Bebe menjadi salah tingkah. “Kenapa, Bu? Ada yang aneh di wajah saya?” tanya Bebe sambil menggoyangkan jemarinya di depan wajah Nana.
Nana menggelengkan kepalanya. “Andai saya bisa membawa Anda ke negeri di awan, Pak, mungkin itu bisa membuat Anda bahagia,” suara Nana terdengar tersekat. Mungkin perasaannya sedang tersentuh oleh pemandangan indah karya agung Sang Pencipta di hadapannya.
Bebe menunduk. Kata-kata Nana selanjutnya membuat Bebe terharu. Tampaknya Nana benar-benar tulus ketika mengucapkannya, “Saya ingin sekali membuat Anda bahagia, Pak!”
Duh, belum pernah sekali pun Bebe menjumpai wanita selugu Nana!
“Ibu sudah membuat saya bahagia hari ini,” Bebe menjawab jujur. Nana begitu memperhatikannya. Dia tidak hanya ikut tertawa bersama Bebe, tapi juga ikut bersedih ketika Bebe sedih.
“Sungguh?” Nana mengerjapkan matanya. “Terima kasih, Pak. Anda sudah membuat saya senang dengan mengajak saya berjalan-jalan ke pantai hari ini,” lanjutnya terus terang.
“Saya yang harus berterima kasih,” tanpa sadar Bebe mengucapkan kata-kata yang sangat jarang keluar dari mulutnya. Dia lalu melingkarkan lengannya ke bahu Nana. Bebe merasa nyaman bersama Nana. Gadis itu membuatnya begitu penting.
Nana merasa dirinya terbang ke awan. Tiba-tiba dia menginginkan dapat lebih lama lagi bersama Bebe. Ah, andai mereka selalu dapat bersama. Sungguh, Nana mulai khawatir, apakah dia jatuh cinta kepada Bebe?
Masalah yang dihadapi Bebe makin parah. Katanya, Pardi telah menerornya lewat telepon. Padahal, setelah diselidiki Nana lewat bantuan Kenny, bukan Pardi yang melakukannya, melainkan wanita pemilik warung yang pernah bertengkar dengan Bebe.
Dengan segala cara Nana ingin membantu Bebe membereskan masalahnya. Bahkan lewat Aji, adiknya, yang punya banyak teman di kepolisian, Nana mulai mencari informasi – siapa sebenarnya dalang penggerebekan di warung itu. Nana ingin membuktikan, bahwa bukan Bebe yang melaporkan peristiwa itu!
Hingga suatu malam Pardi datang ke rumah Nana dan mencoba menjelaskan latar belakang peristiwa yang sudah terjadi di antara dirinya dan Bebe. Pardi yakin Bebe membencinya. Bahkan, semua orang yang dekat dengan Bebe pun jadi mengatakan bahwa Pardilah yang selama ini menjelek-jelekkan Bebe. Padahal, katanya, dia tidak pernah melakukan hal itu.
“Saya datang kepada Ibu karena saya lihat Ibu tidak ikut-ikutan membenci saya tanpa alasan. Ibu tetap baik melayani saya,” katanya gamblang. Lalu Pardi menjelaskan pula bahwa dia memang sengaja menebus anak-anak muda itu dari penjara. Alasannya tak lain karena ia ingin menunjukkan kepada Bebe, bahwa ia pun masih cukup berharga dan dapat menjadi pahlawan bagi orang lain.
***
Bebe mewanti-wanti Nana agar jangan percaya kepada orang yang baru dikenal. Tapi, Bebe sendiri sangat percaya kepada Nana, yang jelas-jelas baru ia kenal!
Nana merasa harga dirinya runtuh. Setelah dua tahun menjalin kasih, ternyata Herry tega berpaling kepada gadis lain, pilihan ibunya. Kuliah Nana keteteran. Beruntung ada Pak Adi, mentornya yang selalu mengingatkan Nana. Dia bilang, seharusnya Nana bersyukur. Herry bukan pria yang pantas untuknya. “Kamu layak mendapatkan yang lebih baik, Na. Ayo, bangkitlah kembali!”
Lama setelah kejadian itu Nana baru mencoba mencintai dirinya kembali. Dari hal-hal yang kecil saja. Ya, walaupun dia tidak cantik dan berkulit hitam, Nana merasa bahwa rambut yang dimilikinya lebih hitam dari rambut siapa pun yang pernah dia kenal. Selain itu, Nana punya tahi lalat kecil yang ’lucu’ di bawah matanya. Jari-jarinya yang mungil dan lentik pandai memainkan gitar. Suaranya pun halus dan lembut, tidak kasar dan galak seperti orang Batak yang dituduhkan ibunda Herry!
Nana tidak lagi mengurung diri dalam kesedihannya. Nana sudah lahir kembali menjadi Nana yang baru! Yang jauh berbeda dan lebih baik dari sebelumnya, berkat dukungan Pak Adi, dosennya, dan para sahabatnya. Nana juga berhasil memaafkan Herry. Betapapun, pria itu yang pertama mengajuk hatinya. Nana selalu mendoakan agar Herry bahagia.
JUNI
Makin sedikit waktu yang dimiliki Nana di Kota Kecil. Bulan Juli, dia harus kembali ke kantor pusat. Bebe benar-benar berubah. Dulu Nana kagum pada sikap optimisme Bebe dan sikapnya yang suka menolong. Tapi sekarang, dia seperti karyawan kebanyakan. Pergi pagi pulang sore, hanya sekadar bekerja memenuhi rutinitas.
Lama-lama Nana terbiasa mengerjakan apa pun sendirian. Bebe telah menyerahkan seluruh keputusan di tangannya. Tanpa disadari Nana menjadi lebih dewasa dalam mengambil keputusan penting. Beberapa kali Nana meminta tolong Bebe menggantikan pekerjaannya karena hal yang mendesak, tapi Bebe tidak mau. Nana benar-benar kehilangan Bebe. Dia tidak lagi punya teman yang asyik diajak berdiskusi.
Beban kerja Nana membuatnya hampir melupakan keluarga besarnya. Nana bahkan baru menyadari kalau Ijo, keponakannya, sudah belajar bicara! Hingga suatu hari Papa mengajak Nana ngobrol. Ini tak pernah diduga Nana. Rupanya Aji berniat ikut ujian untuk menjadi pegawai negeri. Dan, menurut Papa, harus disediakan sejumlah uang agar Aji bisa lulus.
Nana heran, apakah cara mendapatkan pekerjaan seperti itu masih ada? Nana tidak setuju orang harus membayar sejumlah uang agar memperoleh pekerjaan. Tapi, Papa bersikeras. Di kampung Nana, menjadi pegawai di pemerintahan sangat dihormati.
“Papa minta kau membantu adikmu, Na. Eh, maksud Papa, bukan minta, tapi pinjam,” Papa tampak segan. Kelihatan sekali ia gengsi memohon pada Nana. Ini kan masalah harga dirinya sebagai kepala keluarga. Andai saja panennya tidak gagal, tak akan mungkin ia memohon bantuan pada anaknya sendiri.
Nana tidak setuju Aji ikut tes menjadi pegawai pemerintahan dengan embel-embel ‘memberikan sejumlah uang’, tapi dia pun tidak mampu menolak permohonan ayahnya. Apa boleh buat. Kali ini Nana harus mengabaikan idealismenya demi memenuhi keinginan Papa. Mungkin ia ingin salah seorang dari anaknya dapat mengangkat derajatnya sebagai orang tua. Nana menyanggupi meminjamkan sejumlah uang tabungannya untuk bekal tes Aji menjadi pegawai negeri.
Tapi ternyata, harapan besar Papa kandas. Uang melayang dan Aji tidak lulus. Aji tampak kecewa dan ia makin jarang berada di rumah. Papa pun makin pendiam. Mama bilang, Papa menyesal tidak membiarkan Aji dulu mengikuti tes menjadi tentara sesuai impiannya. Ya, Nana memahami posisi Aji yang telanjur membenci Papa. Ia pun tidak menutup mata pada penyesalan Papa yang datang belakangan!
Pukul dua dini hari, Nana terbangun oleh panggilan Mama. Sambil menahan tangis, Mama mengatakan bahwa Papa keluar rumah untuk mencari Aji! Teman Aji tadi tiba-tiba datang, mengabarkan bahwa Aji sedang mabuk di kampung sebelah! Letaknya tidak jauh, hanya dua puluh menit berjalan kaki. Berdasarkan pertimbangan itulah, Nana bergegas menyusul Papa. Walau Mama melarang, tapi Nana tetap pergi. Dia tahu persis warung mana yang harus dituju.
Nana tiba tepat saat Papa menyeret Aji. Muka Papa merah menahan marah. Aji bicara kacau, ia memaki-maki Papa dalam mabuknya. Nana membantu Papa memapah Aji yang meronta-ronta ingin melepaskan diri. Tapi, ia jatuh karena didorong Aji. Papa juga ditinjunya hingga terjatuh. “Lepaskan aku! Lepaskan! Kau tidak berhak mengaturku!” teriaknya.
Nana berusaha membantu Papa untuk berdiri, tapi tiba-tiba Papa memegangi dadanya, sehingga Nana kaget sekali dan menangis. Rumah mereka masih jauh. Nana tidak mungkin mengangkat mereka berdua. Nana berusaha menghubungi Bebe, hingga dia sadar bahwa yang dilakukannya sia-sia. Akhirnya dihubunginya nomor lain. Nana hanya menunggu lima menit, ketika Kenny muncul. Dengan bantuannya, Nana membawa Papa dan Aji ke rumah sakit terdekat. Aji masih belum sadar diri. Papa masih tertolong karena ia mendapat serangan jantung ringan.
Ketika Aji sadar, dia menyesal telah menyusahkan semua orang. Dia menjaga Papa dengan setia. Ketika Papa terbangun, mereka tidak saling bicara. Tapi, setiap gerakan mereka menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka saling peduli satu sama lain. Nana tersenyum dan berharap semoga hari depan lebih baik. Ia juga sangat berterima-kasih pada Kenny, sekaligus sangat marah kepada… Bebe!
Kekecewaan Nana dikatakannya terus-terang kepada Bebe. Nana bukan sekadar marah, tapi juga terluka hatinya! Ketika Bebe tahu penyebab kemarahan Nana, ia makin merasa bersalah. Bebe tidak berani berbicara kepada Nana, jika bukan urusan kantor. Hubungan mereka menjadi kaku. Hingga akhirnya dengan mengumpulkan keberaniannya, Bebe meminta maaf kepada Nana. “Bu, kalau saya minta maaf, apa saya dimaafkan?” pertanyaannya mengejutkan Nana. Sungguh cara yang sangat aneh untuk minta maaf, pikir Nana kesal.
“Anda,’kan tidak pernah bersalah, Pak. Hampir setahun saya di sini, tak sekali pun saya mendengar Anda meminta maaf pada siapa pun,” jawaban Nana membuat Bebe merasa malu. “Jadi, sudahlah, Pak Bebe. Saya hanya marah pada diri sendiri, mengapa merasa cukup penting bagi Anda. Padahal, mana mungkin saya harus bersaing dengan diri Anda sendiri, ya, Pak?” Nana berbicara tanpa ekspresi. Seakan itu adalah percakapan biasa. Bebe masih diam. Nan merapikan mejanya. Dia ingin pulang.
Ketika melihat Bebe masih berdiri di tempatnya, Nana berkata lagi, “Saya sungguh tidak membenci Anda, Pak, jika itu yang ingin Anda dengar. Saya bahkan amat peduli pada Anda.” Kalimat terakhir Nana membuat Bebe ingin memeluknya. Tapi, hal itu tak dilakukannya. Bebe hanya berucap pelan, bahwa Nana jauh lebih berharga dari pulsa apa pun di seluruh dunia ini!
Hanya satu kalimat yang ditulis Nana di dalam buku hariannya di bulan Juni ini. Every day I love you, Bebe!
JULI
Setahun sudah! Nana bahagia karena tugasnya berakhir. Acara pesta perpisahan yang diadakan kantor untuknya pun sudah usai. Besok Nana berangkat ke Jakarta. Bebe mengantar Nana pulang berjalan kaki. Sepanjang jalan mereka saling membisu. Sampai tiba di rumah Nana pun, Bebe tak berkata apa-apa. Jika aku tidak mengatakannya, aku akan menyesalinya seumur hidupku, Nana berbicara dalam hati.
Bebe sudah berjalan beberapa meter, Nana berlari mengejarnya. Ketika Nana memanggilnya, Bebe berpaling. Nana menarik napas untuk menenangkan debaran jantungnya. “Aku ingin menanyakan sesuatu.” Nana diam sejenak, menarik napas panjang. “Jika suatu hari Anda ingin menikah, maukah Anda mempertimbangkan saya?” Nana bertanya sambil meremas-remas jemarinya. Dia tertunduk malu. Wajahnya memerah.
Dengan takjub Bebe menatap Nana. Gadis ini sungguh unik! Dia jujur dan berani berterus-terang! Betul-betul berbeda dengan dirinya! Sebagai seorang pria, seharusnya Bebe merasa malu. Lalu dengan hati-hati, dia menjawab, “Ya”. Nadanya penuh gairah. Nana mengangkat kepalanya dan tersenyum. Tanpa sadar Nana mendekati Bebe. Diciumnya pipi pria itu. Setelah itu Nana tiba-tiba tersadar. Dia lalu berlari pulang ke rumahnya.
Bebe tersenyum bahagia. Dia seolah tidak menginjak bumi. Perasaannya melayang-layang. Benar juga kata orang, cinta bisa membuat kita terbang ke angkasa. Ya, karena cinta membuat kita punya sayap untuk terbang tinggi – ke negeri… di awan, seperti yang pernah dikatakan Nana?
Akhirnya Nana meninggalkan Kota Kecil, membawa banyak kenangan bersamanya. Tapi ada sesuatu yang tertinggal. Hatinya tersimpan pada Bebe. Bila tiba saatnya, Nana yakin Bebe membawa pulang kembali hatinya.
Ending yang manis. Nana menekan tuts terakhir pada layar monitornya dengan perasaan lega. Novel perdananya yang diberi judul Setahun di Kota Kecil sudah selesai.
NANA VERSUS BEBE
Bebe membeli novel berjudul Setahun di Kota Kecil setelah mendengar teman-temannya di kantor heboh memperbincangkannya. Dia bingung, teman-temannya di kantor pusat maupun di cabang mengatakan, Bebe sudah menjadi ‘orang top’. Ha, apa maksudnya? Dia baru mengerti setelah selesai membaca novel tersebut. Dan, dia marah sekali pada Nana!
Bebe merasa dilecehkan. Segala aibnya dibeberkan gamblang di dalam novel tersebut. Rasanya dia ingin sekali mencekik perempuan itu. Tanpa seizinnya, bahkan terkesan seenaknya Nana menulis novel tentang dirinya. Bla,bla,bla…. Bebe marasa nama baiknya tercemar. Ugh, dia akan memberi pelajaran pada Nana! Biar dia paham apa artinya sakit hati! Biar dia mengerti tidak semua orang bisa diperlakukan seenaknya!
Plak! Novel tersebut mendarat dengan mulus di depan Nana. Nana terkejut. Dipandanginya novel tersebut. setelah itu dipandangnya Bebe yang telah berdiri tepat di depannya dengan wajah marah. Nana tidak takut, tapi dia khawatir justru ekspresinya akan membuat Bebe lebih marah. Seharusnya Nana berpura-pura takut agar Bebe merasa dihargai. Tapi, Nana tidak ingin melakukan itu. Dia terima kenyataan apa adanya.
Ibu tidak berhak menjelekkan saya! Saya akan laporkan perbuatan Ibu kepada polisi. Ibu sudah melanggar hak asasi saya sebagai manusia. Dan, saya ingin Ibu dituntut karena perbuatan ini!” Bebe berpaling dan meninggalkan Nana dengan marah.
Nana diam. Dia tahu Bebe akan melakukan apa saja yang dikatakannya. Baginya, nama baik adalah segalanya. Dia tidak akan membiarkan namanya dicemari dengan cerita yang diutarakan Nana dalam novelnya.
***
Sekarang seluruh masyarakat Kota Kecil mengetahui perseteruan antara Nana dan Bebe. Koran lokal bahkan mengangkat cerita itu di dalam headline dan memberikan judul besar-besar; Nana Versus Bebe.
Nana maupun Bebe sebenarnya sama-sama malu hal ini sampai diketahui umum. Tapi, Bebe tetap merasa harga dirinya harus dipertahankan. Itu sebabnya ia mati-matian membawa perkara itu ke pengadilan, sementara Nana sendiri tidak melihat apa manfaatnya memperkarakan peristiwa itu sampai ke pengadilan. Dia sangat menyesalkan tindakan Bebe. Dia ingin sekali membicarakannya dengan Bebe secara baik baik, tapi sulit sekali menjumpainya. Bebe selalu menghindar.
Proses pengadilan yang panjang dan berbelit membuat Nana menjadi bosan. Sejak awal, Bebe sudah menempatkannya sebagai terdakwa yang ‘haus uang’ dan ketenaran sehingga rela mencemarkan nama baik rekannya sendiri. Memasuki proses pengadilan yang terakhir, Nana akan mengutarakan pembelaannya sendiri tanpa jasa seorang pengacara. Hm, dia betul-betul penuh percaya diri! Begitu pandangan orang-orang terhadap Nana.
Padahal, perasaan yang dirasakan Nana adalah sebaliknya. Ia sudah terlalu lelah untuk bersiteru dengan Bebe. Buat apa? Toh, Nana kenal betul siapa Bebe. Permusuhan mereka yang berakhir di pengadilan ini pun tak lain karena Bebe terlalu memanjakan egonya yang begitu besar!
Nana memasuki ruangan pengadilan. Dipandanginya Bebe dari kejauhan. Hatinya sedih karena sebetulnya ia mencintai pria itu. Nana tahu, ada pria lain yang lebih stabil emosinya dan juga mencintainya, Kenny. Nana yakin Bebe lebih membutuhkan dia ketimbang Kenny. Tanpa Nana, Kenny akan baik-baik saja. Tapi, dia tidak yakin, apakah Bebe pun baik-baik saja tanpa ada orang yang dengan tulus mencintainya, seperti Nana. Nana hampir putus asa, tapi rasa cintanya yang besar kepada Bebe membuatnya tetap bertahan menghadapi pengadilan ini.
Bebe mengajukan keberatannya. Dia menuduh Nana mencemarkan nama baiknya melalui novel yang ditulisnya. Katanya, Nana melakukan hal itu karena uang. Bebe ingin Nana mempertanggungjawabkan perbuatannya secara moral. Dia ingin Nana didenda dan novel tersebut ditarik dari peredaran. Itulah inti dari keberatan Bebe.
Nana mengungkapkan pokok pembelaannya tanpa bertele-tele. Katanya, dia tidak bermaksud mencemarkan nama baik Bebe. Nana yakin di negara ini, ada ratusan, bahkan jutaan orang yang memiliki nama sama. “Meskipun tokoh di novel yang saya tulis itu memang dia, Pak Bebe,” Nana menghentikan kalimatnya. Matanya berkaca-kaca. “Ya, meskipun memang dia,” Nana mengulangi dengan suara parau.
Namun, Nana tidak bermaksud melakukannya karena uang, apalagi dengan niat mencemarkan nama baiknya. “Tapi, saya melakukannya demi… cinta,” ada jeda pada saat Nana akan mengucapkan kata cinta. Hadirin diam. Mereka ikut terhanyut dengan suasana hati Nana, seakan turut merasakan besarnya api cinta Nana pada Bebe. Hadirin merasa bersimpati kepada Nana yang begitu berani menyatakan cintanya secara gamblang.
“Saya hanya ingin dia tahu, bahwa saya mencintainya. Saya menulis karena cinta. Apa pun yang saya utarakan di novel tersebut, tak lain karena saya… mencintainya,” Nana memandang Bebe. Bebe mengangkat kepalanya. Dipandangnya wanita yang berdiri tak jauh darinya.
“Cinta yang menggerakkan saya untuk menulis. Saya ingin menulis tentang dia seumur hidup saya. Dia memenuhi seluruh bagian yang terdapat dalam hati saya.” Nana diam. Dipandangnya Bebe lebih lekat.” Aku sungguh-sungguh mencintaimu,” Nana bergumam sambil berusaha menahan air matanya.
Hening. Senyap. Hakim Ketua yang usianya sudah beranjak senja itu terharu mendengar pernyataan Nana yang jujur. Ia tahu, sungguh membutuhkan keberanian yang luar biasa agar bisa berbicara seperti itu di muka orang banyak! Dipandangnya Bebe dengan penuh rasa kasihan. Dasar lelaki bodoh, pikirnya gemas. Padahal, dia beruntung ada seorang wanita yang begitu mencintainya. Tapi tampaknya dia tidak pernah tahu. Atau, memang dia tidak mau tahu?
Pak Hakim lalu berbicara empat mata dengan Bebe. “Apa yang sebenarnya kamu cari, Anak Muda?” tanya Pak Hakim.
Bebe diam. Dibuangnya pandangannya ke arah lain. Pak Hakim masih menunggu. Dia tahu Bebe membutuhkan waktu untuk memahami pertanyaannya.
“Saya merasa harga diri saya diinjak-injak!” Akhirnya Bebe berbicara geram. Gemeletuk giginya sampai terdengar jelas.
“Aha, harga dirimu yang mana? Saya sudah membaca novel itu. Saya tahu sisi negatif-mu ditulis di situ. Tapi apa lantas karena itu harga dirimu jatuh? Harga dirimu masih melekat pada jiwamu!” Pak Hakim berbicara serius.
“Saya mencari keadilan,” Bebe menjawab dengan ragu
“Hm, kamu ingin keadilan? Tidak ada keadilan dalam hidup ini! Keadilan yang sebenarnya cuma ada dalam hatimu. Dengarkan saja kata hatimu. Bersikap jujurlah pada dirimu sendiri, walau hanya sekali, Anak muda,” Pak Hakim berbicara sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Mereka saling berdiam diri selama beberada detik. Bebe merasakan suasana makin hening. Ketika Bebe memutuskan untuk beranjak, Pak Hakim berbicara kembali, ”Kalau saya jadi kamu, Anak muda, saya tidak akan membiarkan wanita itu pergi, karena dia menganggap saya begitu penting dalam hidupnya, ” Pak Hakim berbicara tulus.
Sepanjang jalan Bebe memikirkan kejadian di pengadilan hari itu. Benarkah Nana mencintainya? Apakah dia memiliki perasaan yang sama? Lalu, apa maksud Pak Hakim, ‘jujur pada diri sendiri’? Bebe merasa kepalanya berdenyut–denyut. Yang dibutuhkannya saat ini adalah beristirahat. Kalau saja Nana berada di sampingnya? Duh!
Akhirnya Bebe mencabut tuntutannya. Dia hanya ingin Nana meminta maaf kepadanya. Bebe tidak ingin permintaan maaf langsung karena dia tidak ingin bertemu Nana. Nana harus melakukannya secara tertulis dan dimasukkan dalam amplop cokelat seperti biasanya. Nana menyanggupinya. Ia ingin sekali menyerahkan sendiri amplop cokelat itu, tapi dia tahu Bebe tidak ingin melihatnya.
Nana sedang menunggu pesawat di Kota Kecil yang akan membawanya ke Medan. Dari Medan, dia naik pesawat lagi ke Jakarta. Pesawat terlambat datang. Pesawatnya adalah pesawat kecil dengan kapasitas 25 orang penumpang.
Hampir seluruh anggota keluarga ikut mengantarnya. Mama, Papa, Yos, Aji, Hara, dan Ijo. Hara terlihat gembira berada di bandara. Dia belum paham sebentar lagi berpisah dari Tante yang disayanginya. Keluarganya masih menemani, tapi begitu ada pengumuman pesawat terlambat, maka keluarga Nana memutuskan pulang. Jarak antara bandara dan rumah mereka terbilang jauh dan Nana masih harus menunggu lama.
“Hati-hati, Na di Jakarta,” Mama membelai rambut Nana.
“Cepat cari suami, ya!” Yos memeluknya erat-erat.
“Jaga keluarga kita baik-baik,” Nana menitipkan pesan pada Aji, adiknya, yang disambut dengan anggukan kepala, terharu.
Nana memeluk Hara dan Ijo. Tanpa terasa air matanya menetes. Dipeluknya sekali lagi bocah-bocah itu. Papa tidak mengatakan sepatah kata pun, tapi dari matanya Nana dapat melihat kesedihan. Papa menyalaminya dan menepuk pipinya. Nana tersenyum. Tanpa ragu dia meraih tubuh ayahnya dan memeluknya. Papa membalas dengan rangkuan erat. Suatu hal yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya!
Setelah mereka berlalu, Nana tinggal sendirian di bandara. Ia tahu bahwa pesawat di Kota Kecil ini sering terlambat. Jadi, dia tidak kaget lagi dengan penundaan ini, bahkan dia sudah bersiap-siap membawa koran dan majalah yang akan dibacanya nanti selama menunggu pesawat. Nana duduk diam-diam di ruang tunggu. Sepi. Tidak banyak orang yang bepergian dengan pesawat akhir-akhir ini. Nana duduk sambil membaca koran.
Pesawat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, tapi masih memerlukan waktu setengah jam lagi untuk bongkar muatan. Benar-benar ‘jam karet’, pikir Nana. Setelah tidak ada lagi yang dapat dibaca, Nana bosan dan hampir tertidur. Tiba-tiba, bahunya ditepuk dari belakang. Nana terlonjak kaget. Diputarnya kepalanya untuk melihat siapa orang iseng itu.
“Saya pikir Ibu sudah pergi,” Bebe berbicara malu-malu di depannya!
Mereka berdiri berhadapan, salah tingkah. Pengumuman untuk segera naik ke pesawat berkumandang. Nana terkesiap.
“Sepertinya saya harus pergi, Pak,” Nana mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman. Suara Nana terdengar tersendat, menahan tangis. Ia lalu mulai berjalan dan berharap Bebe akan memanggilnya kembali, seperti di dalam sinetron. Tapi, Bebe tetap diam terpaku di tempatnya.
Ini kesempatan terakhir! Nana percaya, cinta harus diperjuangkan. Cintanya kepada Bebe sangat berarti, jadi dia harus memperjuangkannya! Akhirnya, dengan menguatkan hati, Nana membalikkan tubuh dan menghampiri Bebe yang tampak terkejut. “Pak, jika Anda tidak ingin saya pergi, saya tidak akan pergi,” Nana berbicara sambil menatap Bebe. Suaranya parau dan matanya berkaca- kaca.
Bebe masih diam. Matanya kelihatan menerawang. Nana tidak menunggu lagi. Memang inilah akhirnya, pikirnya. Setidaknya dia telah berusaha. Nana berjalan kembali menuju pesawat, kali ini tidak dengan langkah perlahan, tapi dengan langkah panjang. Ketika melewati petugas pemeriksa, Nana mendengar sura orang berlari ke arahnya. Diangkatnya kepalanya. Bebe!
“Saya akan menikah, Bu,” Bebe berbicara dengan cepat
Nana memandang Bebe terkejut. Ucapan Bebe sungguh di luar dugaan. “Saya akan menikah,” Bebe mengulangi pernyataannya. “Dan, bukankah Ibu minta dipertimbangkan kalau saya akan menikah?” Bebe tersenyum. Sorot matanya memancarkan kelembutan.
“Saya sudah mempertimbangkannya, Bu,” Bebe berhenti sejenak, lalu melanjutkan ucapannya dengan mantap, ”Menikahlah dengan saya, Bu!”
Hening. Senyap. Lalu tangis Nana meledak. Dia bahagia sekali, hingga lupa menjawab. Bebe menarik Nana dalam pelukannya. Erat! Dia takut Nana lepas dari pelukannya. Nana masih menangis. Bebe melepaskan pelukannya. Ditatapnya Nana dalam-dalam.
“Menikahlah dengan saya, Bu,” dia mengulangi permohonannya.
Kali ini Nana mengangguk sambil tersenyum lebar. Mereka berpelukan sekali lagi. Mereka tidak menghiraukan petugas yang mengingatkan waktu keberangkatan pesawat.
“Saya tidak jadi pergi, Pak. Saya akan menikah!” Nana berteriak sambil menggandeng Bebe ke luar dari bandara.
“Aku rela mati demi kamu, Nana!“ Bebe mengucapkan nama Nana tanpa embel-embel ‘Bu’ untuk yang pertama kalinya. Suaranya terdengar sangat merdu di telinga Nana.
Tamat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Komentar:
Posting Komentar