Winter in Tokyo
Ilana Tan
IA menyesap minumannya pelan dan memandang ke luar jendela. Salju mulai turun lagi. Ia berdiri di sana beberapa saat, memandangi butiran salju yang melayang-layang di luar.
Ada yang hilang.
Keningnya berkerut samar. Tentu saja ada yang hilang. Ia tahu benar ada sesuatu yang hilang. Hanya saja ia tidak tahu apa yang hilang itu. Dan apakah sesuatu yang hilang itu penting atau tidak.
Ia menarik napas dalam-dalam. Yah... mungkin bukan sesuatu yang penting.
Ia berputar membelakangi jendela dan memandang ke sekeliling ruangan. Aula besar itu mulai ramai. Orang-orang terlihat gembira, saling tersenyum, tertawa, dan mengobrol. Seorang kenalannya tersenyum dan melambai ke arahnya. Ia balas tersenyum dan mengangkat gelas.
Tepat pada saat itulah ia melihat orang itu.
Orang itu baru memasuki ruangan. Matanya tidak berkedip mengamati orang itu menyalami beberapa orang sambil tersenyum lebar. Aneh... Ia menyadari dirinya tidak bisa mengalihkan pandangan.
Ia melihat orang itu mengambil segelas minuman dari meja bulat bertaplak putih sambil bercakap-cakap dengan seseorang yang berdiri di sampingnya. Kemudian orang itu mengangkat wajah dan memandang ke seberang ruangan. Tepat ke arahnya.
Mata mereka bertemu dan waktu serasa berhenti.
Aneh sekali. Otaknya tidak mengenal orang itu. Ia yakin ia tidak mengenal orang itu. Tetapi kenapa sepertinya hatinya berkata sebaliknya?
Kenapa hatinya seakan berkata padanya bahwa ia merindukan orang itu?
Satu
MUSIM dingin sudah tiba dan menyelimuti kota Tokyo. Angin bertiup agak kencang malam ini. Ishida Keiko mengibaskan rambut panjangnya ke belakang agar tidak menghalangi pandangan sementara ia bergegas menyusuri jalan kecil dan sepi yang mengarah ke gedung apartemennya. Ia menggigil karena rasa dingin mulai menembus jaket dan sweter tebalnya. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah, minum secangkir cokelat panas, dan makan ramen1. Memikirkannya saja sudah membuat perut keroncongan. Dingni-dingin begini memang paling enak...
“Hei!”
Keiko terlompat kaget dan berputar cepat. Matanya terbelalak menatap wanita dengan rambut pendek dicat pirang manyala yang sudah berdiri di sampingnya. Begitu mengenali wanita itu sebagai Sato Haruka, tetangganya yang tinggal di apartemen lantai bawah, Keiko menghembuskan napas lega.
“Haruka Oneesan2,” Keiko mendesah sambil memegang dada. “Oneesan membuatku terkejut setengah mati.”
Sato Haruka mendecakkan lidah dan tersenyum lebar. “Kau terlalu gampang terkejut.”
“Oneesan tahu aku selalu merasa waswas kalau berjalan sendirian di jalan sepi,” kata Keiko. “Dan aku punya alasan bagus untuk itu.”
“Baiklah, baiklah. Aku minta maaf. Ayo, cepat. Aku sudah hampir beku,” kata Haruka sambil menggandeng lengan Keiko. “Kelihatannya barang bawaanmu banyak sekali. Kau bawa buku lagi hari ini?”
Keiko mengeluarkan dua buku dari tas tangannya yang superbesar. Dua-duanya buku klasik terkenal. “Dua buku ini baru masuk hari ini, jadi aku orang pertama yang membacanya.”
"1.Mi Jepang yang berbentuk tipis, berbeda dengan udon yang bentuknya lebih bulat dan besar"
"2.Panggilan untuk wanita yang lebih tua, kakak"
mau baca online langsung saja ke part selanjutnya disni
Mau download disini (pdf) Di sini
0 Komentar:
Posting Komentar