Kesibukan layaknya menggelar sebuah pesta pernikahaan, terlihat di perkampungan yang dihuni oleh sekelompok orang yang hanya menenakan celana pendek bermotif hitam putih dan tanpa menggunakan baju di Dusun Segandu, Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat atau berjarak sekitar 30 KM dari pusat kota Indramayu.
Terlihat beberapa pria tengah sibuk menyapu halaman rumah yang ukurannya lumayan besar, dan membersihkan tempat yang di atasnya terdapat kubah bulat berukuran raksasa. Sedangkan penghuni lainnya, terlihat tengah menyiapkan buah-buahan dan kelapa muda di sebuah baskom berukuran cukup besar.
Sedangkan kaum perempuannya, tidak terlibat dalam kesibukan yang dilakukan kaum laki-laki. Yang perempuan terlihat baru saja selesai mandi di sungai yang letaknya ada disamping perkampungan tersebut.
Aktivitas para penghuni ini terhenti sejenak, saat saya memasuki sebuah halaman rumah yang mereka sebut dengan pendopo. Beberapa ornamen lukisan hewan, seperti kerbau, kuda, naga dan aksara bahasa Jawa Cirbonan terpampang di tembok warna merah serta gapura masuk.
“Silahkan masuk. Kendaraannya dibawa masuk saja kedalam,” sapa seorang yang berasal dari komunitas tersebut dengan bahasa Jawa Cirbonan.
Awalnya, komunitas yang diketahui sebagai Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu sangat berhati-hati terhadap orang yang baru dikenalnya. Namun, setelah melihat gelang dan kalung mirip tasbih yang terbuat dari biji jola jali yang saya kenakan, kecurigaan mereka hilang dan mempersilahkan saya untuk masuk menemui komunitas lainnya.
Termasuk menemui Kepala Suku Eran Takmad Diningrat Gusti Alam, yang saat itu duduk di tengah-tengah masyarakat anggota suku lainnya.
Setelah saya mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan, Eran Takmad Diningrat Gusti Alam menjelaskan bila kesibukan yang terlihat ini,untuk menjalani ritual rutin minggu pertama diawal bulan,atau setiap malam Jumat kliwon.
Ritual rutin yang selalu dilakukan dan diikuti seluruh masyarakat Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu adalah topo bisu di dalam air selama 8 jam yang dimulai tepat tengah malam dan berakhir keesokan harinya pukul 8.00 dan dilanjutkan kembali dengan ritual topo pepe atau ritual berjemur sambil tidur terlentang tanpa menggunakan alas apapun ditengah terik matahari, yang dimulai pukul 11.00 dan baru berakhir pukul 20.00.
“Ritual ini kami gelar selama 4 bulan 5 hari secara berturut-turut. Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada alam semesta raya, serta sebagai bukti kepasrahaan kami terhadap alam,” kata Eran di Losarang, Indramayu.
Perkumpulan Pencak Silat
Sebelum melanjutkan pembicaraan, Eran mempersilakan saya untuk menginap di rumah Panglima Perang Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu,Tarxim Bin kalsim.
Tarxim menceritakan bahwa Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan Suku Dayak yang ada di Kalimantan.
“Hindu di sini bukan agama, karena kami hanya memiliki keyakinan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dibungkus dengan baju yang namannya Agama,” jelas Tarxim Bin Kalsim.
Menurut Tarxim, Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu sendiri memiliki arti, Suku yang berarti Kaki, Dayak yang berarti Ramai, Hindu yang berarti di dalam rahim atau kandungan, Bumi yang berarti wujud, Segandu yang berarti seluruh badan, Indramayu berarti inti yang paling dalam Darma terhadap orang tua dan Ayu yang berarti wanita.
“Bila diartikan secara menyeluruh Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu, kaki melangkah berdasarkan kepercayaan yang sudah dibawa sejak dalam kandungan untuk berbakti kepada alam, orang tua dan
wanita,” paparnya.
Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu memiliki pengikut cukup banyak dan terbagi atas tiga kelompok. Kelompok pertama, dikenal dengan nama Dayak alami, yaitu anggota Suku Dayak tanpa menggunakan baju dan hanya menggunakan celana pendek sebanyak 100 orang. Dan dalam kehidupan sehari-hari, selain menggunakan pernak-pernik suku mereka, seperti gelang tangan, kalung,ikat celana dari ayaman bambu, di leher mereka lambang Pancasila selalu dikenakan.
“Selain melambangkan negara, Pancasila juga melambangkan persatuan kita semua. Meskipun kita berbeda-beda, namun kita dipersatukan dengan lambang Pancasila. Dan ini wajib kita kenakan,” terang Tarxim.
Kelompok kedua, biasa dikenal dengan nama Dayak Preman. Untuk kelompok kedua ini yaitu komunitas suku Dayak yang menggunakan pakaian lengkap dan berwarna-warni, jumlahnya cukup banyak, yaitu 7000 orang dan
tersebar di seluruh daerah di Indonesia.
Sedangkan kelompok ketiga yaitu Dayak Ibu, hanya beranggotakan perempuan, baik dewasa maupun anak-anak dan jumlahnya cukup banyak hingga mencapai 10 ribu anggota.
Menurut Tarxim, awal berdiri Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu berawal dari perkumpulan perguruan pencak silat yang didirikan kepala suku mereka, Eran Takmad Diningrat Gusti Alam. Keputusan untuk meninggalkan hiruk-pikuk duniawi dan menyebarkan kebaikan dan kesabaran diperoleh Eran setelah menjalani ritual topo bisu dan topo pepe yang hingga kini menjadi ritual wajib yang harus dijalani anggota kelompok ini.
Awalnya, hanya sang istri dan anak Eran Takmad Diningrat Gusti Alam yang menjadi pengikutnya. Namun, lambat laun ajaran yang mengadopsi salah satu tokoh pewayangan Semar ini mampu menarik perhatian masyarakat luas.
“Sebenarnya kami tidak pernah memaksa keluarga kami untuk menjadi masuk dalam kelompok kami. Mereka masuk karena mereka merasakan apa yang kami ajarkan bukan kekerasan, melainkan kedamaian abadi,” terang Tarxim yang mengaku dua putrinya ini menolak masuk mengikuti jejaknya.
Menurut Tarxim, untuk ritual topo bisu dan topo pepe yang ritual awal biasa digelar pada minggu pertama bulan pertama atau setiap malam Jumat kliwon,selama 4 bulan lima hari ini, hanya diikuti Dayak Alami yang beranggotakan 100 orang.
“Kenapa dimulai setiap malam jumat kliwon, karena alam menyampaikan pesannya setiap malam itu dan secara terus menerus hingga 4 bulan 5 hari. Intinya melatih kesabaran kita semua manusia,” ujarnya lagi.
Pemuja Perempuan
Selain berpenampilan unik, tanpa menggunakan busana baju, dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari, Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu dikenal sebagai suku yang sangat memuja perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, biasannya Kepala Keluarga adalah Laki-laki, namun di suku ini, yang bertindak sebagai Kepala Keluarga adalah perempuan. Termasuk dalam kartu keluarga, perempuanlah yang tercantum sebagai kepala keluarga.
Sehingga dalam kehidupan sehari-hari,segala aktivitas rumah tangga yang biasannya dikerjakan perempuan, seluruhnya dikerjakan kaum laki-laki. Mulai dari memasak, mencuci, memandikan anak, membersihkan rumah seluruhnya dikerjakan kaum laki-laki.
Sedangkan kaum perempuan menggantikan tugas suku dayak laki-laki mencari nafkah buat keluargannya. Hingga menghadiri pertemuan warga.
Menurut Tarxim, ini dilakukan agar kaum laki-laki merasakan penderitaan yang dipikul kaum perempuan dalam mengurusi rumah tangga. Termasuk tak jarang, kaum laki-laki bertindak semena-mena terhadap kaum perempuan. Sehingga tabu hukumnya bagi sukunya bertindak kasar kepada perempuan.
“Meskipun kita dibentak-bentak, hingga dipukul sekalipun oleh perempuan, kita tidak akan membalasnya. Apa yang kita alami, tidak sebanding dengan penderitaan perempuan yang harus mengandung hingga 9 bulan dan tak jarang masih oleh kaum lelakinya diperbudak,”ujarnya.
Sehingga berapa pun pendapatan yang diberikan istri mereka dalam mencari nafkah, tabu hukumnya bagi kaum laki-laki suku Dayak untuk mencelanya. Namun, meskipun menggantikan tugas kaum perempuan, bukan berati kaum laki-laki tidak bekerja mencari nafkah.
Sesudah mengerjakan seluruh aktivitas rumah tangga, menurut Tarxim, kaum laki-laki juga bekerja di luar rumah. Hanya saja, berbeda dengan kaum perempuan, yang bekerja bisa jauh dari tempat tinggalnya, kaum laki-laki ini bekerja tidak jauh dari tempat tinggalnya dan mereka harus kembali ke rumah sebelum anak dan istri mereka pulang ke rumah untuk menyiapkan makan buat keluarganya.
“Kita bekerja juga bekerja. Tapi tidak jauh-jauh dari rumah. Kebanyakan kita bekerja di sawah, mengumpulkan barang-barang bekas dan membuat manik-manik untuk keperluan ritual kami,”terangnya.
Tempat Tinggal Terpencil
Tingkah laku yang bertentangan dengan aturan yang berlaku, diakui oleh Tarxim tidak bisa diterima oleh warga sekitar. Bahkan, Tarxim sendiri mengaku untuk bisa sampai ke komunitas suku Dayak yang berada di kota lainnya, untuk menyampaikan undangan ritual utama suku, bisa memakan waktu hingga dua minggu lamannya.
Pasalnya, penampilan mereka yang tidak menggunakan baju dan hanya menggunakan celana, acap kali mendapatkan penolakan dari sopir angkutan umum untuk mengantar mereka hingga ke tempat tujuan.
“Lebih dari 15 kali saya diturunkan dari mobil. Hanya saya dianggap kurang waras karena tidak menggunakan baju. Jadi kalau ditotal,misalnya saya mau menyampaikan undangan kepada masyarakat suku dayak di Kota Bandung, dari Losarang hingga ke Bandung, bisa memakan waktu hingga dua minggu pulang pergi,” terang Tarxim sambil tertawa.
Selain mendapatkan pelakuan buruk dari sopir dan kernet angkutan umum, dirinya kerap kali ditilang polisi, karena tidak menggunakan helm dan tak memiliki Surat Izin Mengemudi.
Namun, tambah tarxim, bukan persoalan pandangan warga yang hingga kini kurang bisa menerima kehadiran mereka yang membuat mereka lebih memilih membangun rumah, jauh dari pemukiman penduduk.
Tetapi, keinginan mereka sendiri yang lebih memilih hidup menyendiri untuk mencari ketenangan agar bisa menyatu dengan alam. Tak jarang, bila malam hari, mereka menyanyikan kidung-kidung hingga meneteskan air mata. Bahkan untuk tidur,hanya anak mereka saja yang menggunakan kasur empuk. Sedangkan Tarxim dan istrinya lebih memilih tidur hanya beralaskan tanah liat.
Seperti Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu lainnya,Tarxim dan istrinya tidak pernah memakan yang bernyawa. Mereka hanya memakan buah-buahan. Bahkan dua anaknya yang belum mengikuti jejak mereka, juga dianjurkan untuk tidak memakan makanan yang bernyawa. Tak heran, bila di rumah mereka hanya terdapat buah-buahan serta sayur-sayuran.
“Kita semua sama-sama mahluk hidup.Untuk apa kita memakan sesama mahluk hidup,” ujar Tarxim menjelaskan alasan mereka untuk tidak menyentuh makanan yang bernyawa seperti daging dan ikan laut.
Bahkan tarxim rela berbagi makanan dengan hewan lainnya, bila saat dia makan, piring yang dia bawa didekati hewan, termasuk anjing dan ayam. Tak heran bila komunitas membiarkan hewan lainnya hidup bebas di tempat tinggal mereka.