Apakah bisnis agama memang nyata?

Written By Unknown on Sabtu, 03 Desember 2011 | 16.40

Di Amerika Serikat, ada istilah God Incorporation yang mengacu pada kegiatan penginjilan Kristen dengan organisasi yang dianggap hampir sama dengan perusahan-perusahaan komersial lain.
Mereka bukan hanya menggelar kebaktian agama dan mengandalkan pemasukan semata-mata dari sumbangan sukarela jemaat, tapi juga menjual buku, CD, dan kaus, dan produk-produk lainnya.

Tak sedikit dari lembaga penginjilan yang kemudian memiliki aset jutaan dollar, dengan gedung gereja milik sendiri yang megah dan mewah maupun lahan pertanian sendiri, yang kadang digunakan untuk menutup diri dari masyarakat umum lainnya.

Belakangan kegiatan seperti itu juga mulai menyebar ke belahan dunia lain dan juga ke agama-agama lain.
Di Indonesia, misalnya, layanan pesan SMS keagamaan yang berbayar -khususnya di bulan Ramadan- jelas bukan hal yang baru. Beberapa gereja di Jakarta yang megah dan mewah juga semakin banyak terlihat, yang jelas membutuhkan biaya besar untuk pembangunan maupun pemeliharaannya.

Sementara di Iran, lembaga wakaf menjadi salah satu badan yang kaya karena mengelola tempat-tempat ziarah dan tidak usah harus membayar pajak.

Atau ada juga misalnya pemimpin agama Hindu yang hidup seperti para eksekutif puncak perusahaan-perusahaan raksasa.

Tentu saja pungutan uang yang dilakukan oleh lembaga maupun pemimpin agama -atas nama agama- sudah menjadi tradisi dalam misi sebuah agama, yang bisa ditarik jauh ke belakang ke masa-masa awal berkembangnya agama.

Namun apakah menurut anda yang terjadi saat ini masih bisa diterima atau sudah memasuki 'komersialisasi' agama.

Apapun pendapat atau komentar Anda, kirim ke BBC Indonesia?
Atau Anda memiliki pengalaman dalam kecenderungan pengumpulan dana besar-besaran oleh lembaga maupun pemimpin agama.

Kami tunggu dengan alasan maupun penjelasannya di email indonesia@bbc.co.uk
Mohon kiranya pendapat atau komentar Anda tidak merendahkan atau menghina agama apapun.
Tak lupa sertakan nama dan asal kota Anda.

Komentar yang masuk
"Setelah saya amati, saya sebagai penganut Kristen Protestan melihat di gereja saya dan gereja yang saya amati terdapat surplus keuangan. Mereka tidak pernah mengembalikan hal tersebut, seperti hal nya negara yang memungut pajak dari rakyatnya dan membangun infrastruktur dan lain-lain. Seperti halnya gereja memiliki universitas dan rumah sakit, tak ada subsidi silang bagi jemaatnya jika berobat dan sekolah jemaat sama saja komersialnya dengan yang bukan jemaatnya padahal ketika kurang biaya maka jemaatnya diminta dana." Posman Sitorus, Medan.

"Saya sangat setuju bahwa agama saat ini sudah menjadi komersial. Kita dapat lihat dari berlomba-lombanya para pemeluk agama membuat spanduk besar-besaran untuk mendapatkan banayak massa. Apalagi jika bukan untuk mendapatkan keuntungan dari pengikutnya dengan memberikan istilah-istilah keagamaan pada pungutan biaya tersebut agar terkesan sakral. Dengan mengatasnamakan agama, bagi manusia yang masih menggilainya, pasti apa pun akan diikuti tanpa berpikir terlebih dahulu." Santi Mahardhika, Jakarta.
"Agama adalah produk yang muncul akibat dari kebutuhan manusia itu sendiri. Terkadang dengan pendidikan agama pun sebagian besar manusia di negara berkembang merasa sudah cukup padahal ranah ilmu itu sangat luas. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan dan posisi agama di Eropa atau negara industri lain karena agama adalah kebutuhan pribadi yang dipeluk tanpa kepentingan apapun." Hernanto, Surabaya.

"Jika dana tersebut untuk meraup kepentingan lembaga, pribadi, dan golongan itu sangat tidak dianjurkan. Tapi seperti LAI, Lembaga Alkitab Indonesia, mengumpulkan dana untuk misi untuk mencetak Alkitab dan menerjemahkan ke dalam bahasa yang belum diterjemahkan sebelumnya." Tigor Agustinus Simanjuntak, Jakarta.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...